Bertempat di Auditorium Fakultas Geografi UGM, Kamis (10/3), BEM KM Fakultas Geografi UGM bekerja sama dengan IMAHAGI dan Badan Kerja Sama Luar Negri (BKLN) mengadakan International General Lecture dengan topik “Risk Management Based on Merapi Eruptionâ€. Tiga mahasiswa berprestasi dari Universite Paris 1, Pantheon Sorbonne, Edouard de Belizal, dan Adrien Picqouoit, serta Estuningtyas Wulan Mei dari UGM hadir dalam acara ini, sekaligus menjadi pembicara. Mereka menyampaikan topik-topik terkait dengan penelitian yang dilakukan mengenai erupsi Merapi 2010.
Dengan mengangkat tema “Lahar Flows after the 2010 Eruption of Merapi Volcano: First Observationâ€, Edouard de Belizal memaparkan aliran lahar terjadi karena dipicu hujan deras di puncak Merapi. Dikatakannya bahwa dari 23 lembah yang berada di sekitar Gunungapi Merapi, Kali Putih memberikan kontribusi terbesar dalam kejadian aliran lahar pascaerupsi. “Banyaknya material vulkanis yang dibawa oleh aliran lahar mengakibatkan perubahan morfologi Gunungapi Merapi,” ujar Edouard.
Menurut Edouard, masih banyak kekurangan terkait dengan antisipasi bencana lahar dingin. Meskipun terdapat alat Early Warning System (EWS) aliran lahar di setiap segmen sungai, alat ini belum berfungsi dengan baik. Hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa waktu konsentrasi yang dibutuhkan bagi lahar untuk mengalir dari segmen satu ke segmen berikutnya berkisar antara 20-30 menit. “Penempatan dan peruntukan cek dam dan sabo dam dinilai masih belum sesuai. Inilah yang menjadi perhatian dalam penanganan bencana erupsi Merapi sehingga dibutuhkan kesiapan warga setempat dalam menghadapi aliran lahar,” katanya.
Sementara itu, Adrien Picqouoit dan Estuningtyas Wulan Mei menyampaikan pentingnya pemahaman terhadap kondisi sosial dan ekonomi di sekitar Merapi, terutama kondisi sosial ekonomi yang terjadi di Desa Bronggang di lereng selatan Merapi.
Mengupas tema “Disaster Management and the Impacts of the 2010 Merapi Eruption: Study Case of Bronggang Sub-Villageâ€, keduanya menjelaskan Desa Bronggang sebelumnya berada dalam KRB III. Namun, setelah erupsi desa ini berada dalam KRB II. Disimpulkan bahwa pemahaman kondisi sosial ekonomi di daerah ini berkaitan erat dengan proses evakuasi saat bencana dan pemulihan pascabencana. Pengambilan keputusan terkait bencana erupsi Merapi harus diawali dengan pengenalan terhadap bencana itu sendiri dan diikuti dengan melakukan koordinasi yang baik antara pemerintah dengan ahli-ahli vulkanologi. Hal tersebut diiringi dengan pengawasan akan keteraturan dan ketaatan terhadap zonasi KRB dan perencanaan evakuasi.
Menurut Adrien dan Estuningtyas, pengetahuan terhadap karakteristik fisik dan sosial ekonomi sebelum, saat, dan sesudah erupsi Merapi sangat membantu dalam manajemen risiko erupsi. Sementara itu, penempatan dan pemeliharaan cek dam dan sabo dam, zonasi KRB, serta arahan tata guna lahan dapat ditentukan dengan tepat. “Lokasi hunian sementara dan keberlanjutan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat dapat direncanakan dengan baik. Hal ini sangat penting mengingat status Merapi yang masih aktif dan adanya potensi erupsi. Semoga erupsi Merapi 2010 dapat meningkatkan keingintahuan sistem alam yang berlangsung dalam Gunungapi Merapi,” harap keduanya. (Humas UGM/ Agung)