Yogya, KU
Mengubah air menjadi bensin, minyak solar, minyak tanah dan avtur adalah sesuatu yang tidak mungkin. Sebab, air terdiri atas komponen hidrogen dan oksigen; dan untuk mengubahnya menjadi hidrokarbon yang non polar adalah sesuatu yang mustahil dimana sifat air yang polar sangat berlainan sifatnya dengan hidrokarbon yang non-polar.
Demikian hasil kajian ilmiah yang disampaikan oleh Tim Peneliti UGM dalam menanggapi polemik ‘Blue Energy’ yang sempat simpang siur di masyarakat, Jumat (30/5) di Ruang Rektorat UGM.
Tim peneliti yang beranggotakan Dr Tumiran, Drs Sudiartono MSc, Dr Wega Trisunaryanti dan Dr Jayan Sentanuhady didampingi Ketua Senat Akademik UGM Prof Dr dr Sutaryo dan Kepala Bidang Humas dan Keprotokolan UGM Drs Suryo Baskoro MS dihadapan beberapa wartawan membahas Blue Energy berdasarkan konsep tinjauan ilmiah.
Menurut Tim Peneliti UGM, energi berbasis air bukanlah sesuatu hal yang baru sehingga kurang pada tempatnya jika penemuan teknologi berbasis air ini diklaim beberapa pihak sebagai inovasi atau temuan baru.
“Secara hukum logis energi, konsep ini (Blue Energy) jelas sangat tidak rasional, karena air yang mengandung hidrogen memiliki sensivitas yang tinggi dimana harus diubah menjadi hidrokarbon yang memiliki sensivitas rendah,†kata peneliti Hidrogen dari Fakultas MIPA UGM Dr Wega Trisunaryanti.
Menurut Wega, pada prinsipnya air memang dapat diubah menjadi hidrogen dengan teknik elektrolisis, dan gas hidrogen digunakan sebagai bahan bakar. Sementara, proses elektrolisis dari air menjadi gas hidrogen membutuhkan energi yang sangat besar.
Hal ini diamini oleh Dr Jayan Sentanuhady, menurutnya, teknologi seperti ini perlu puluhan tahun untuk ditemukan. Padahal, sebelumnya, sudah ada orang pertama yang membuat dokumentasi tentang elektrolisis ini, dr William Rhodes disekitar tahun 1960. Namun hanya Prof Yull Brown sebagai orang yang secara serius mempopulerkan metode elektrolisis ini.
Kendati begitu, kata Jayan, di dunia scientist sendiri sudah banyak pakar meragukan efisiensi proses ini karena dipandang sebagai sesuatu hal yang memboroskan.
“Artinya proses elektrolisis yang umumnya menggunakan electric pulse ini masih terlalu mahal dibandingkan dengan energi yang didapatkan, akibat biaya produksi dengan energi value yang dihasilkan belum seimbang secara ekonomis,†ujar peneliti Laboratorium Konversi Energi UGM ini.
Menanggapi maraknya penemuan Bahan bakar Alternatif Palsu, Ketua Senat Akademik UGM Prof Dr dr Sutaryo menegaskan, hasil temuan seorang peneliti belum sepenuhnya benar, namun demikian seorang peneliti sebaiknya tetap menjunjung tinggi nilai kejujuran ilmiah dan bisa membuktikan temuannya secara ilmiah.
“Hasil temuan seorang peneliti bisa saja tidak selalu benar namun harus tetap menjunjung tinggi kejujuran ilmiah dan tidak berbohong, apalagi secara sengaja membohongi publik dengan berkedok rahasia riset atau rahasia perusahaan,†imbuhnya.
Menurut Sutaryo, pernyataan proses Blue Energy seperti yang selama ini dilansir di media telah menyalahi hukum kekekalan energi. Sehingga, tim dari UGM merasa perlu memberikan penjelasan kepada publik, agar masyarakat mendapatkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
“UGM menghimbau kepada pihak-pihak untuk tidak lagi memberikan informasi yang menyesatkan tentang energi terbarukan kepada masyarakat,†kata Suryo Baskoro menimpali.
Lebih jauh dikatakan Suryo, UGM juga menghimbau kepada para pengusaha dan pemerintah daerah, agar melakukan cross check bila ada klaim tentang ditemukannya sumber energi. Selain itu, kepada pihak-pihak yang berkompeten untuk tidak ragu-ragu melakukan pengujian guna menghindari kerugian material. (Humas UGM/Gusti Grehenson)