Setelah tiga sebelumnya, Kompas kembali menerbitkan buku Tetralogi Sisi Lain SBY –Presiden Susilo Bambang Yudhoyono– berjudul ‘Pak Beye dan Keluarganya’. Dengan penulis yang sama, Wisnu Nugroho, buku ini bercerita seputar keluarga tempat Pak Beye kembali dari rutinitasnya sebagai orang nomor satu di Republik Indonesia.
Melalui keluarganya di Cikeas, berbagai pemikiran dan cita-cita SBY ditumbuhkan. Dalam hal ini, keluarga tidak lagi terbatas pada ikatan darah, ada Partai Demokrat dan anak-anak ideologis yang ditumbuhkan di sana. Terhadap kiprah Pak Beye dan keluarganya, muncul sejumlah kritik karena kekhawatiran hadirnya dinasti seperti dalam sistem monarki.
Dalam seri terakhir Tetralogi Sisi Lain SBY, Wisnu Nugroho, wartawan Kompas yang bertugas di Istana, berbagi cerita tentang hal-hal tidak penting yang dijumpainya di Istana Negara, Cikeas, dan Pacitan. “Saya memang menulis beberapa hal yang tidak dimuat di media,” kata Wisnu di Perpustakaan UGM, Senin (14/3), saat berlangsung acara bedah buku karyanya.
Sebagai wartawan yang bertugas meliput kegiatan Istana, Wisnu Nugroho dalam bukunya menyampaikan fakta dan bukan kebohongan. Oleh karena itu, dalam buku ini muncul kisah-kisah tentang ibu ratu, putra mahkota, sejumlah abdi dalem dengan label tim hore dan kehidupan di puri. Sama dengan buku seri-seri sebelumnya, buku Tetralogi Sisi Lain SBY kali ini dilengkapi dengan foto-foto eksklusif yang menjadi modal Wisnu untuk menulis cerita dengan jenaka dan sesekali menyentil.
Dalam bedah buku yang dipandu oleh wartawan Kedaulatan Rakyat, Mulyadi Adhisupho, Wisnu dan Penerbit Buku Kompas (PBK) juga mengenalkan buku baru karyanya yang berjudul ‘Pak Kalla dan Presidennya’. “Saya sengaja membuat buku khusus tentang Pak Kalla sebagai wakil presiden. Bagaimanapun sosok ini juga mewarnai karier politik Pak Beye,” komentar Inu, panggilan akrab Wisnu Nugroho, tentang buku Pak Kalla yang diberi sampul warna kuning.
Tentang buku ‘Pak Beye dan Keluarganya’, Dr. Abdul Gaffar Karim menilai buku ini menarik untuk dibaca sebab sesuatu yang tidak penting yang dibahas di dalamnya justru menjadi penting. Dosen Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, yang juga menjadi pembedah buku ini, lebih banyak menyoroti sisi-sisi SBY sebagai presiden profesional pertama. SBY dinilai sebagai presiden yang berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya. Dibandingkan dengan Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati, SBY tidak memiliki legitimasi sejarah. “Ia pun tidak memiliki basis sosial. Namun, ia menjadi presiden pertama yang dipilih rakyat,” kata Gaffar. (Humas UGM/ Agung)