YOGYAKARTA – Densifikasi atau kepadatan bangunan di daerah perkotaan Yogyakarta didominasi perubahan dari kelas kepadatan bangunan sedang-kepadatan bangunan tinggi. Luas lahan yang mengalami densifikasi mempunyai kecenderungan menurun, artinya densifikasi bangunan tinggi hanya terjadi pada periode setelah jalan lingkar Yogyakarta berfungsi atau terjadi pada periode sebelum krisis ekonomi. Arah densifikasi bangunan di daerah perkotaan Yogyakarta pada tahun 1994-1996 ke arah timur, pada periode 1996-1998 ke arah barat daya, dan setelah tahun 1998 cenderung ke arah utara dan timur laut.
Demikian dikemukakan Drs. R. Suharyadi, M.Sc. dalam ujian promosi doktornya yang dilaksanakan di Fakultas Geografi UGM, Jumat (18/3). Bertindak selaku promotor Prof. Dr. Hartono, D.E.A., D.E.S.S., Ko-promotor Prof. Dr. Dulbahri, dan Prof. Dr. Hadi Sabari Yunus, M.A.
Di hadapan tim penguji yang diketuai oleh Prof. Dr. Suratman, M.Sc., promovenduz mengatakan densifikasi bangunan pada umumnya terjadi pada jarak antara 3000-4000 meter dari pusat daerah perkotaan dan terjadi pada daerah yang mempunyai aksesibilitas baik, yakni pada jarak kurang 1.000 meter dari jalan utama. Densifikasi bangunan menurun sejalan dengan jarak dari jalan utama. “Pada jarak 2500 meter dari jalan utama, densifikasi bangunan relatif sangat kecil,” jelasnya.
Dalam penelitian Suharyadi, kecepatan densifikasi bangunan pada periode 1996-1998 di Yogyakarta mencapai 457 hektar per tahun, dengan densifikasi bangunan dominan pada bangunan kepadatan sedang-bangunan kepadatan tinggi. Sementara itu, rerata kecepatan terendah terjadi pada periode waktu 2003-2006, yakni hanya 22 hektar per tahun. “Kecepatan rerata densifikasi bangunan di daerah perkotaan Yogyakarta selama 12 tahun, selama 1994-2006, sebesar 181 hektar per tahun,” kata staf pengajar Fakultas Geografi ini.
Dalam disertasinya, Suharyadi mengatakan perkembangan daerah perkotaan dipengaruhi oleh tingkat aksesibilitas, Daerah perkotaan yang mempunyai aksesibilitas baik relatif berkembang lebih cepat. Namun, densifikasi bangunan berakibat pada semakin berkurangnya lahan terbuka dan bervegatasi. Akibat yang dirasakan oleh pengelola daerah perkotaan adalah keterlambatan penataan lingkungan karena lahan terbangun terlanjur padat oleh bangunan perkotaan.
Menurutnya, penataan lingkungan pada lahan terbangun yang sudah terlanjur padat menjadi kegiatan yang tidak mudah sebab akan memunculkan banyak permasalahan sosial. Problem ini timbul bukan akibat lajunya pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, tetapi disebabkan oleh problem umum, yakni kelangkaan dan ketertinggalan data tentang karakteristik densifikasi bangunan dan cara perolehan datanya. “Ketersediaan data karakteristik densifikasi bangunan secara cepat dan akurat menjadi kebutuhan mendesak para pengelola daerah perkotaan,” tuturnya.
Daerah perkotaan Yogyakarta mempunyai kenampakan kepadatan bangunan yang relatif hetrogen dan fenomena pertumbuhan daerah perkotaannya sesuai untuk mewakili kenampakan daerah perkotaan di negara sedang berkembang, yakni daerah perkotaan dengan pertumbuhan penduduk tinggi, pertumbuhan daerah terbangunnya relatif tinggi dan perkembangan daerah terbangunnya melewati batas administrasi kota.
Suharyadi mengatakan pemanfaatan penginderaan jarak jauh dapat digunakan untuk memahami densifikasi bangunan di daerah perkotaan dan beberapa faktor yang mempengaruhi adanya pola, arah, dan kecepatan densifikasi bangunan. Salah satu model yang dikembangkan Suharyadi adalah teknik interpretasi hibrida citra penginderaan jauh dengan memadukan interpretasi secara visual untuk delineasi objek bangunan dan analisis digital untuk pengenalan kepadatan bangunan.
Promotor Prof. Hartono mengakui hasil penelitian Suharyadi sangat penting untuk dikembangkan di daerah perkotaan di Indonesia. Menurutnya, kebijakan pembangunan saat ini lebih mementingkan pembangunan daerah hunian yang nyaman dengan bangunan tinggi, tetapi minim fasilitas hijau dan kurang memadai. (Humas UGM/Gusti Grehenson)