YOGYAKARTA-Dalam setiap pementasan yang berasal dari naskah saduran akan terjadi proses interkultural. Interkultural dalam pementasan digunakan oleh pemimpin teater Studiklub Teater Bandung (STB), Anirun, dan penerusnya, Sanjaya, sebagai salah satu cara untuk mendekatkan pentas dan penonton. Cara ini sudah lama ditempuh STB dan dianggap berhasil untuk menjadikan naskah asing akrab dengan khalayak penonton. Naskah yang berasal dari budaya lain disadur dan disesuaikan dengan budaya sasaran sehingga menghasilkan pementasan yang baru.
“Berbeda dengan teater interkultural di Eropa atau di Barat yang umumnya menganggap bahwa ini adalah sebuah prinsip baru dalam pementasan, dalam seni pertunjukan di Indonesia cara ini sudah lama dilakukan,” kata Lina Meilinawati Rahayu, S.S., M.Hum., dalam ujian doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (21/3). Dalam kesempatan tersebut, Lina mempertahankan disertasi berjudul Transformasi dalam Pementasan Naskah Drama Saduran:Studi Kasus Studiklub Teater Bandung (STB).
Lina menambahkan kondisi itu berbeda dengan teater interkultural di Eropa atau Barat karena budaya Indonesia sangat heterogen, selain juga Indonesia cukup lama dijadikan negara koloni. Heterogenitas dan kolonialisme menjadikan pinjam-meminjam kebudayaan adalah sesuatu yang wajar dan alami. “Hal ini dikarenakan sudah sangat erat berjalinnya berbagai budaya hingga tidak sadar adanya peminjaman budaya lain,” jelas staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran (Unpad) itu.
Di setiap pementasan STB, interkultural sangat menimbang budaya lokal (setempat). Hal itu disebabkan pementasan memerlukan penonton dan pemahaman penonton atas pementasan berlangsung sebentar. Oleh sebab itu, pemilihan budaya lokal atas salah satu strategi untuk mendekatkan pentas dan penontonnya.
Lebih jauh, dalam disertasinya Lina juga menjelaskan pementasan STB yang beraliran realis. Realis ala STB lebih sering tidak bisa menggambarkan ketepatan yang luar biasa dari representasi, tetapi hampir dalam setiap pementasan berusaha menggambarkan peristiwa seperti nyata. Hal ini masih dapat diidentifikasi dalam teater realis walaupun realisme ala STB mempunyai cara tersendiri dalam menyajikan kenyataan di atas pentas.
“Realisme STB boleh dikatakan sebagai realisme-lokal,”kata perempuan kelahiran Bandung, 31 Mei 1970.
Dalam disertasinya disebutkan bahwa transformasi dengan prinsip interkultural dalam sajian realis tetap dipertahankan hingga kini. Hal-hal tersebut merupakan salah satu cara untuk mendatangkan penonton. Transformasi, interkultural, dan realis adalah tiga hal yang pada prinsipnya memudahkan penonton untuk memahami pentas. Interkultural ala STB, kata Lina’ berpihak pada budaya lokal, sementara realisme ala STB sedekat mungkin menampilkan kenyataan.
“Dengan transformasi, interkultural, dan prinsip realis inilah STB berhasil bertahan dan “memenjara” penonton hingga kini,” urai Lina.
Setelah menjalani ujian disertasi di hadapan tim penguji, yaitu Prof.Dr.C.Soebakdi Soemanto, S.U., Prof.Dr.R.M.Soedarsono, Prof.Jakob Sumardjo, Prof.Dr.Yudiaryani, M.A., Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS. dan Dr.G.R.Lono Lastoro Simatupang, M.A. akhirnya Lina berhasil lulus dengan predikat sangat memuaskan. Dengan keberhasilannya tersebut Lina menjadi doktor ke-1354 yang lulus dari UGM.
Seperti diketahui, STB memulai pementasannya dengan menerjemahkan dan menyadur naskah-naskah asing, misalnya Paman Vanya karya Chekov, Karto Loewak karya Ben Johnson, Tabib Tetiron karya Moliere, dll. Pementasan STB hampir semuanya menggunakan naskah terjemahan dan naskah saduran. Naskah asing pada umumnya juga dipentaskan berkali-kali. Dalam perjalanan perkembangan teater modern Indonesia, STB juga memberi peran yang tidak kecil. Sejak berdiri tahun 1958 terus aktif melakukan kegiatan hingga kini.
Nama STB juga tidak lepas dari salah satu pendirinya, Anirun. Dibandingkan beberapa pendiri lainnya, di bawah kepemimpinan Anirun nama STB cukup menonjol. Hal ini disebabkan Anirun adalah orang yang aktif berperan dalam setiap pementasan STB, baik itu sebagai pemain maupun sutradara walaupun pada akhirnya dia lebih memilih menjadi sutradara. Hampir di setiap pementasan STB disutradarainya, kecuali pada awal berdiri STB, penyutradaraan dilakukan berdua dengan Jim Lim (Humas UGM/Satria AN).