Selain kegiatan di bidang akademik, mahasiswa mendapat peluang untuk mengikuti berbagai kegiatan lain, baik di dalam maupun di luar kampus. Berbagai pembinaan kemahasiswaan pun telah dijalankan sehingga mahasiswa memiliki media untuk mengembangkan bakat dan minat serta meraih prestasi. Meski begitu, jumlah lulusan perguruan tinggi yang tidak mampu bekerja atau menciptakan pekerjaan dari waktu ke waktu semakin bertambah yang mengakibatkan pengangguran semakin tinggi.
Dalam pandangan dosen Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Drs. Suroso, M.S., terdapat beberapa hal memprihatinkan dalam diri mahasiswa, yakni sikap yang belum mengerti tanggung jawab, kurang mampu berkomunikasi, kurang inisiatif, kurang memiliki rasa humor, dan kurang dapat bekerja sama dalam tim. “Mereka juga kurang memiliki daya juang tinggi dan cenderung pragmatis. Nampak-nampaknya peran perguruan tinggi belum maksimal dalam memberikan bekal pada mahasiswa,” ujar Suroso, Senin (21/3), dalam ujian terbuka program doktor bidang Ilmu Psikologi UGM.
Kondisi mahasiswa yang memprihatinkan ini sesuai dengan hasil diskusi rapat nasional bidang kemahasiswaan tahun 2005 dan pernyataan para pimpinan perguruan tinggi yang membidangi kemahasiswaan pada 20 Mei 2010. Mereka sepakat berkesimpulan bahwa kegiatan kemahasiswaan masih belum memberikan akses optimal dalam memberikan bekal kepada mahasiswa, baik dalam bentuk pengembangan sikap, wawasan, maupun perubahan perilaku. “Indikasi ini bisa dilihat dari besarnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang setiap tahunnya masih membebani pemerintah karena tidak terserap pasar kerja maupun ketidakmampuan mereka menciptakan pekerjaan,” kata Suroso di Auditorium Fakultas Psikologi UGM saat mempertahankan disertasi “Peranan Pengasuhan Orang Tua, Pembinaan Kemahasiswaan, dan Aktivitas yang Dilakukan terhadap Performansi Ideal Mahasiswa”.
Hasil penelitian menunjukkan pada semua kelompok subjek, mahasiswa berprestasi, tokoh, mahasiswa aktivis, ataupun mahasiswa non-aktivis ditemukan pola pengasuhan orang tua, pembinaan kemahasiswaan, dan aktivitas-aktivitas lain bila dilakukan secara bersama-sama dapat memberikan peran terhadap performansi ideal. Performansi terhadap mahasiswa berprestasi dinilai paling ideal di antara kelompok yang lain. Dengan demikian, rumusan tentang performansi ideal dalam penelitian ini dapat dipertimbangkan menjadi acuan dalam melakukan pembinaan kemahasiswaan, menetapkan target mahasiswa sebagai output dan outcome pembinaan kemahasiswaan agar lulusan mampu menghadapi persaingan global.
Berbagai aktivitas mahasiswa, menurut Suroso, lebih banyak berdasar atas ide dan kreativitas mereka sendiri. Meskipun ada pembimbing kemahasiswaan, selama ini belum berfungsi maksimal. Oleh karena itu, kehadiran para pembimbing ini dianggap tidak penting. Kalaupun ada dosen yang sanggup membimbing, justru dicap oleh para mahasiswa sebagai seorang yang aneh atau “gila”. “Akhirnya pembinaan pun diserahkan kepada organisasi kemahasiswaan tanpa sistem panduan yang jelas, termasuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan. Apalagi jika diteliti di banyak PT/PTS, sedikit dosen yang mau menjadi pembimbing/pendamping kegiatan kemahasiswaan,” tambahnya.
Oleh karena itu, kepada pembimbing/pendamping kemahasiswaan, Suroso berharap para pembimbing memperhatikan dan lebih memberikan kesempatan untuk berkomunikasi dengan mahasiswanya. Mereka diharapkan untuk selalu memberikan dukungan dan dorongan terhadap mahasiswa dalam pencapaian prestasi. “Selain itu, untuk tetap terus memberikan arahan, perhatian dan kepedulian pada mahasiswa,” tutur pria kelahiran Karanganyar, 24 April 1960 yang dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan dan menjadi doktor ke-1355 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)