YOGYAKARTA-Seperti halnya media di beberapa negara Barat yang mendukung invasi Amerika dan sekutunya ke Irak, media Jepang gagal melakukan salah satu tugas pentingnya menjadikan Pemerintah Jepang bertanggung jawab terhadap warganya yang memberi dukungan tanpa syarat kepada pemerintahnya. Media membiarkan tindakan Pemerintah Jepang untuk terlibat dalam pengiriman pasukan pertahanan ke Irak.
Hal tersebut merupakan pokok-pokok pikiran Prof. Kenichi Asano dalam Seminar Internasional Media dan Politik yang diselenggarakan oleh Program Studi S-2 Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Rabu (23/3).
Asano menambahkan media Jepang hanya menjadi bagian alat propaganda Amerika sejak Presiden Bush mengumumkan Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaida, yang bertanggung jawab atas serangan 11 September 2001. Kematian 24 warga Jepang dalam peristiwa itu dijadikan sebagai dasar dukungan penuh PM Jepang, Junichiro Koizumi, terhadap tindakan militer AS-Inggris terhadap Osama bin Laden dan Irak. “Media Jepang masih menjadi alat propaganda AS dan kebijakan tersebut didukung oleh Pemerintah Jepang,†kata Asano.
Prof. Asano, yang pernah menjadi wartawan dan Kepala Perwakilan Kantor Berita Kyodo di Jakarta tahun 1989-1992, menambahkan NHK sebagai penyiaran publik pun gagal menjalankan fungsinya karena tidak pernah secara serius mengkritisi keputusan pemerintah untuk mengirim pasukan Jepang, bahkan ketika tindakan itu dianggap sebagai melanggar konstitusi. “Kegagalan media menjalankan fungsinya melayani publik bisa jadi merupakan keberhasilan pemerintah di berbagai negara maju dalam mengontrol media massa untuk kepentingan pemerintah, seperti yang dilakukan Bush di Amerika Serikat,†imbuh guru besar jurnalisme pada Universitas Doshisha Kyoto Jepang ini.
Sementara itu, staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, I Gusti Ngurah Putra, yang juga sebagai pembicara dalam seminar itu mengatakan ada berbagai cara dan mekanisme yang digunakan pemerintah di negara demokratis untuk mengendalikan media massa sehingga pendapat umum mendukung kebijakan yang diambil pemerintah. Namun, kebijakan pemerintah bisa jadi tidak merepresentasikan kepentingan publik. “Bisa dan sering terjadi kebijakan pemerintah sebenarnya tidak mewakili kepentingan publik dengan mengendalikan media massa,†tambah Ngurah.
Di sisi lain, Kuskridho Ambardi memaparkan hasil penelitiannya mengenai liputan media terhadap kampanye pilpres 2009. Menurutnya, dua media cetak yang ditelitinya, Kompas dan majalah Tempo, telah berupaya melakukan elaborasi dan pelaporan investigatif untuk memberikan informasi yang memadai kepada calon pemilih. Namun sayang, justru para capres dalam kampanyenya kurang memberikan pilihan-pilihan alternatif kebijakan kepada para pemilih. “Bukan pers yang gagal melakukan tugasnya, tetapi para kandidatlah yang gagal untuk mempersuasi pemilih dengan program yang memiliki justifikasi kuat, paling tidak seperti yang biasa diamati dari kedua media tadi,†terang Kuskridho yang juga pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM.
Selain mereka, hadir pula sebagai pembicara dalam seminar tersebut, Hermin Indah Wahyuni, yang menyoroti regulasi media untuk mendukung demokrasi, dan Lukas Ispandriarno, yang membahas komunikasi politik menjelang kejatuhan Suharto 1998 dan masa sesudahnya. (Humas UGM/Satria AN)