YOGYAKARTA-Realitas ekonomi menunjukkan perilaku ekonomi masyarakat dan kebijakan ekonomi pemerintah masih banyak yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Hal itu terjadi karena Pancasila bagi sebagian masyarakat baru sebatas hal yang mempengaruhi pola perasaan (pattern of feeling) dan pola pikir (pattern of thinking), tetapi belum sampai kepada perilaku keseharian atau pola tindakan (pattern of action). Akibatnya adalah rendahnya ketahanan terhadap pengaruh luar yang mengedepankan kebutuhan materiil, memunculkan nafsu keserakahan, dan belum dilaksanakannya nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan ekonomi nasional.
Hal tersebut ditegaskan oleh ekonom yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec., dalam diskusi Great Thinker Seri Ekonomi “Ekonomi Kerakyatan Sebagai Basis Ekonomi Pancasila”: Belajar dari Prof.Dr.Mubyarto, di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (24/3).
Edy menambahkan banyak kebijakan negara yang arahnya bertentangan dengan prinsip-prinsip atau pilar-pilar ekonomi Pancasila, seperti kebijakan impor beras, kenaikan harga BBM, rekapitulasi perbankan, utang luar negeri, praktik mark-up dan korupsi yang meluas di pemerintahan. “Nah, kebijakan tersebut sebenarnya bisa diuji oleh MK. Dengan begitu, MK perlu dilengkapi dengan tenaga atau staf ahli di bidang ekonomi, khususnya disesuaikan dengan Pancasila,” ujar Edy.
Menurut Edy, naif mengharapkan implementasi Pancasila dalam bidang ekonomi dilakukan oleh masyarakat luas jika kebijakan pemerintah dan para petinggi menyimpanginya. Kontekstualisasi dan implementasi Pancasila tidak dapat dilepaskan dari penegakan perundangan yang berlaku, yang juga bersumber dari Pancasila.
Sementara itu, Prof. Dr. Musa Asy’arie, Guru Besar Filsafat yang juga Rektor UIN Sunan Kalijaga, menjelaskan pembangunan nasional dengan prioritas ekonomi berdasarkan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada akhirnya hanya akan mempertajam kesenjangan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dengan demikian, yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Pertumbuhan ekonomi itu pun hanya beredar dan dikuasai oleh segelintir elit yang sudah teken kontrak dan terkait erat dengan jaringan ekonomi kartel. “Pendekatan pertumbuhan ekonomi ini belum berubah, baik di orde baru maupun reformasi sekarang ini. Akibatnya, terjadilah demoralisasi, seperti mafia pajak dan mafia hukum,” terang Musa.
Di tempat yang sama, Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FEB UGM, Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D., dalam kesempatan itu mengatakan Mubyarto sepakat jika Pancasila diterima sebagai ideologi bangsa. Oleh karena itu, tidak perlu ragu-ragu untuk mengacu pada Pancasila, lengkap dengan lima silanya, dalam menyusun sistem ekonomi.
Penetapan platform ekonomika Pancasila secara utuh (multisektoral) dan menyeluruh (nasional) menempatkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi khas, yakni Sistem Ekonomi Pancasila (SEP). “Sistem ekonomi Pancasila berpihak pada ekonomi rakyat,”urai guru besar UGM ini.
Seperti diketahui, SEP digagas oleh Prof. Mubyarto pada sekitar tahun 1980-an. Sebutan SEP sebelumnya sudah dilontarkan oleh Prof. Emil Salim sekitar tahun 1966. Dalam sistem ekonomi Pancasila, Mubyarto menekankan para pemimpin ekonomi Indonesia, baik dari kalangan pemerintah, dunia bisnis, maupun pakar, agar berpikir keras menyusun aturan main atau sistem ekonomi yang mengacu pada sistem sosial dan budaya Indonesia. (Humas UGM/Satria AN)