YOGYAKARTA – Lulus perguruan tinggi tidak lagi identik dengan mencari kerja, tetapi harus kreatif menciptakan lapangan kerja. Sejak masa kuliah, mahasiswa sudah harus memiliki paradigma tersebut dengan memiliki bekal ilmu dan praktik kerja di lapangan.
Program Magister Manajemen (MM) UGM menjawab hal itu dengan mengundang praktisi dan pengusaha yang menjadi dosen tamu atau guest lecture untuk memberikan gambaran tentang praktik di lapangan. Tidak cukup hanya sampai di situ, MM UGM juga mengundang para pelaku usaha kecil dan menengah melalui kegiatan pameran 10 usaha kecil dan menengah yang bergerak di bidang batik. “Selain ikut melestarikan budaya bangsa, kegiatan ini untuk memberikan pengalaman kepada mahasiswa untuk belajar dan berbagi pengalaman dengan UKM dalam menjalankan roda usaha,†kata Ketua Smart Corner Club MM UGM, Nindya Nur Aryani, yang ditemui di sela-sela pameran batik yang digelar di Auditorium MM UGM.
Belajar dari pengalaman para pelaku usaha UKM sangat membantu mahasiswa untuk terjun menjadi wirausaha. Untuk menjadi seorang pengusaha pun harus dimulai melalui UKM. “Kita ingin belajar banyak dari UKM. Karena lulus tidak harus kerja dengan orang lain, tapi juga mempekerjakan orang lain,†kata Nindya.
Ketua panitia acara, Rindha Avrina, juga mengatakan hal senada. Menurutnya, mahasiswa tidak cukup hanya mengenal perusahaan besar dan pelaku usaha retail, tetapi harus tahu banyak tentang UKM, sekaligus mengenal lebih jauh profil UKM di Yogyakarta. “Memperkenalkan UKM di Yogyakarta dan lebih tahu banyak bagaimana pengalaman mereka selama mendirikan usaha,†katanya.
Kenapa memilih batik? “Jogja identik dengan batik. Di sini, mahasiswa diharapkan lebih mengenal dan mencintai budaya bangsa sendiri, apalagi di MM banyak mahasiswa asing. Setidaknya mereka tahu bahwa batik adalah budaya dari Indonesia,†katanya. Ia menambahkan batik sebagai warisan budaya Indonesia tetap harus dipelihara dan dilestarikan. Salah satunya adalah dengan memberi nilai tambah ekonomi melalui keberadaan UKM batik.
Selain mengadakan pameran UKM batik, para mahasiswa diberi kesempatan mengikuti pelatihan membatik. Mereka dikenalkan tentang sejarah batik, mulai dari jenis, motif, dan corak batik yang ada di Inonesia. Sedikitnya, 30 mahasiswa mengikuti cara ini.
Mahasiswa asing asal Belanda, Amber (24), mengaku sangat senang dengan adanya kegiatan pelatihan membatik. Perempuan kelahiran Rotterdam ini mengaku menjadi pengalaman pertama baginya diajak membatik. Ia pun mengaku mendapat kejutan yang menyenangkan. “Cukup senang. Saya sekarang bisa tahu bagaimana cara membuat batik itu meski agak sedikit susah,†kata wanita blasteran Padang dan Bali ini.
Meski besar dan tumbuh di negeri kincir angin, Amber mengaku dirinya tahu banyak tentang batik. Maklum, sejak kecil ia sering mendapat bingkisan kain batik dari kerabat keluarga yang datang dari Indonesia. Baginya, busana batik merupakan yang terbaik di dunia selain busana dari Hawai.
Tidak cukup dengan mengetahui dan mengenal batik, Amber memiliki sejumlah koleksi kebaya batik di rumahnya di Belanda. Biasanya, busana kebaya batik kerap ia pakai saat menghadiri acara resmi kantor Kedutaan Indonesia di Belanda. Kebetulan, sang kakek bekerja di Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia. “Saya punya dua kebaya batik, loh!†kata anak kedua dari tiga bersaudara ini dengan senyum bangga. (Humas UGM/Gusti Grehenson)