YOGYAKARTA – Peluang bisnis industri perunggasan terbuka lebar seiring dengan peningkatan harga pangan dunia dan konsumsi protein hewani. Di dalam negeri, bisnis usaha daging broiler dan telur telah mampu menyerap 2,5 juta tenaga kerja langsung dengan perputaran uang lebih dari 50 triliun per tahun. “Bisnis ini menyediakan lapangan kerja, terutama di pedesaan, paling tidak bisnis ini mampu menghambat laju urbanisasi ke kota, menggerakkan ekonomi pedesaan, dan meningkatkan daya beli petani,†kata Senior Vice President PT Primakarya Persada, Ir. Achmad Dawami, dalam seminar perunggasan di Fakultas Peternakan UGM, Sabtu (26/3).
Menurutnya, sektor industri perunggasan seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah untuk mewujudkan kemandirian pangan nasional. Harga pangan dunia menjadi tinggi akibat peningkatan populasi, pertumbuhan ekonomi dan penurunan lahan pertanian. “Kondisi ini mengharuskan setiap negara untuk memperkuat kemandirian pangannya,†tambahnya.
Beberapa indikasinya adalah China saat ini mengurangi eskpor biji-bijian, seperti jagung, yang selama ini digunakan sebagai bahan baku utama pakan. Negara tersebut bahkan melakukan impor dalam waktu dekat ini sehingga mempengaruhi harga jagung dunia. Sementara itu, Rusia segera melakukan swasembada produksi ayam dan babi. Diperkirakan 85 persen kebutuhan dalam negerinya akan terpenuhi pada 2015. “Brazil mendapatkan keuntungan besar dari kenaikan bahan baku pakan dan makin mengembangkan industri perunggasannya yang selama ini masih terbesar di dunia,†tuturnya.
Untuk mewujudkan sektor perunggasan yang kuat di dalam negeri, menurut Dawami, tidak mudah dan menghadapi berbagai kendala, antara lain pertumbuhan ekonomi yang relatif masih rendah, sektor riil yang belum tumbuh secara optimal, industri perunggasan yang masih terfragmentasi, dan sarana produksi peternakan yang masih banyak impor seperti jagung. “Seharusnya Indonesia sudah swasembada (jagung) sebagai bahan utama pakan,†ujar alumnus Fakultas Peternakan ini.
Tidak cukup itu saja, industri perunggasan juga masih menghadapi permasalahan unggas yang belum bebas Avian Influenza. Sementara itu, di bidang permodalan, terkendala oleh suku bunga perbankan yang masih tinggi.
Meningkatnya usaha di bidang industri perunggasan tidak hanya meningkatkan kehidupan ekonomi. Sektor ini diharapkan dapat mendorong peningkatan konsumsi protein hewani meskipun tingkat konsumsi daging dan telur Indonesia paling rendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Philipina, dan Singapura. “Konsumi daging dan telur Indonesia baru mencapai 4,5 kg/kapita/tahun dan konsumsi telur 80 kg/kapita/tahun. Bandingkan dengan Malaysia, konsumsi daging 38,5 kg/kapita/tahun dan telur 311 kg/kapita/tahun,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)