Dikatakan Dra Pingky Saptandari MSc (Staf Ahli Khusus Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan RI), bahwa terdapat dua faktor kendala bagi pencapaian pembangunan responsif gender, yaitu aspek hukum dan politik serta aspek sosial dan budaya.
Aspek hukum dan politik, terlihat dengan lemahnya komitmen politik dalam peningkatan Sumber Daya Manusia & kualitas hidup perempuan. Menurut Pingky, sampai saat ini masih banyak peraturan perundang-undangan yang bias gender.
“Secara sosial dan budaya, saya melihat masih kuatnya dominasi budaya patriarki dan lagi-lagi masalah gender tetap dianggap hanya sebagai masalah perempuan,†ujarnya, Kamis (21/110, saat menjadi pembicara hari ke-2 Seminar Seminar Nasional “Partisipasi Perempuan Dalam Mengatasi Permasalahan Bangsaâ€, di Hotel Inna Garuda, Jogjakarta.
Untuk itu, katanya, dibutuhkan suatu strategi rekayasa sosial budaya. Dan hal itu bisa ditempuh melalui pendidikan dan penguatan berbagai kelembagaan/ organisasi.
Sementara itu diakhir seminar yang diselenggarakan Pusat Studi Wanita UGM selama dua hari, 21-22 Nopember 2007, telah menghasilkan beberapa rekomendasi. Diantaranya, permasalahan yang menimpa perempuan di daerah tidak hanya menjadi persoalan perempuan di daerah, tetapi juga menjadi persoalan daerah dan nasional. Oleh karena itu pemerintah pusat diharapkan turun ke daerah untuk bersama-sama mengatasi persoalan tersebut.
Sebagaimana yang dibacakan Pascalis salah seorang peserta seminar, perlu dilakukan pemetaaan permasalahan perempuan di daerah dan kajian secara berkelanjutan untuk menemukan solusi yang tepat dan komprehensif bagi perempuan. “Perlu sosialisasi berbagai perundang-undangan PKDRT, UU Perlindungan Anak, dan UU PTPPO secara terus menerus di daerah untuk mendukung implementasi hukum yang berpihak kepada perempuan,†ujar Pascalis, salah satu peserta, Kamis (22/11) di Hotel Inna Garuda, Jogjakarta saat membacakan rekomendasi.
Selain itu, katanya, perlu dibentuk forum jejaring Pusat Studi Wanita (PSW) UGM dengan perempuan di daerah untuk pemberdayaan perempuan. Bahwa modul pemberdayaan gender dan pelatihan gender perlu untuk disosialisasikan ke daerah-daerah guna membantu perempuan memahami hak-haknya.
“Perlu juga mendorong perempuan masuk ke dunia politik praktis untuk memperjuangkan hak-haknya,†tambah Pascalis.
Rekomendasi lainnya menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan sebaiknya lebih mengutamakan pada peningkatan pendidikan, kesehatan dan pengentasan kemiskinan perempuan. “Karena globalisasi yang kita hadapi hanya bisa diatasi lewat pemberdayaan perempuan. Oleh karenanya perlu diperjuangkan APBN dan ABPD yang responsif gender,†tandas Pascalis. (Humas UGM)