YOGYAKARTA-Jumlah penderita lepra (kusta) di Indonesia masih cukup tinggi. Padahal, upaya pengobatan telah dilakukan bagi para penderita tersebut. Menurut Kepala Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga (Unair) Bagian Penyakit Kusta, Prof. Dr. dr. Indropo Agusni, Sp.KK(K), selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, data jumlah penderita lepra di Indonesia memang tidak mengalami penurunan.
Saat ini, kurang lebih terdapat tujuh belas ribu penderita lepra baru di negara ini. “Meskipun sudah diobati, tetapi jumlah penderitanya masih tetap meningkat. Ini setidaknya pada sepuluh tahun terakhir ini,†kata Indropo dalam Indonesia-Dutch Tropical Dermatology Meeting 2011, yang digelar di Hotel Melia Purosani, Kamis (7/4).
Indropo menambahkan penyakit lepra di Indonesia merupakan fenomena gunung es. Pengobatan dan penanganannya tidak menyentuh para penderita yang berada di bawah, yang jumlahnya jauh lebih banyak karena tidak menampakkan gejala klinis. Gejala klinis yang dimaksud adalah munculnya bercak berwujud koin yang bersifat mati rasa. Ia menyebutkan beberapa wilayah di Indonesia dengan jumlah penderita lepra yang masih tinggi, antara lain Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Untuk jumlah penderita lepra, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brazil. “Indonesia berada di bawah India dan Brazil terkait penderita lepra ini,†katanya.
Penyakit lepra dapat menyerang siapa saja, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Jika ditangani sejak dini, lepra dapat diobati secara tuntas dan tidak menyebabkan kecacatan. Pengobatan penyakit ini memakan waktu sekitar 6-12 bulan dengan berbagai jenis obat atau multiple drug therapy. Penyebab lepra adalah kuman dan dapat ditularkan melalui udara, tanah, kutu busuk, dan armadillo. Deteksi dini dan fasilitas pemeriksaan yang memadai di berbagai lingkungan masyarakat adalah langkah efektif mengontrol penyebaran lepra. “Selain itu, karena berhubungan dekat dengan penderita sehingga terinfeksi, maka agar tidak terlambat segera saja diobati jika mengalami gejala klinis lepra tadi,†tutur Indropo.
Ketua Panitia dari Fakultas Kedokteran UGM, Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.KK(K), menyebutkan dalam seminar yang diteruskan workshop tersebut terdapat kurang lebih 18 pakar kulit dari Indonesia dan 18 pakar dari Belanda dari 7-9 April mendatang. Sementara itu, jumlah peserta mencapai lebih dari 250 orang.
Dermatologi tropis merupakan ilmu kedokteran yang khusus mempelajari penyakit-penyakit kulit yang ada dan berasal dari daerah tropis. Penyakit ini kini tidak hanya ditemukan di negara tropis, tetapi juga di negara maju karena globalisasi dan mobilitas penduduk. Sebagian besar penyakit kulit tropis merupakan penyakit infeksi dan sebagian lainnya adalah alergi karena pengaruh iklim dan lingkungan. (Humas UGM/Satria AN)