YOGYAKARTA – Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz meluncurkan buku Rakyat Tani Miskin: Korban Terorisme Pembangunan Nasional. Buku setebal 190 halaman yang diterbiitkan Pusat Studi Pedesaaan dan Kawasan (PSPK) UGM ini merangkum hasil pemikiran Prof Maskum tentang kondisi para petani yang tidak mendapat keberpihakan dari kebijakan pemerintah sejak era Orde Baru hingga Orde Reformasi.
Meski 56,8% warga Indonesia adalah petani. Namun fakta menunjukkan pasar pertanian telah dibanjiri dengan produk impor. Bukan hanya buah dan sayuran. Kedelai sebagai bahan baku tempe pun masih impor. Bahkan pengakuan swasembada beras yang pernah diraih ternyata tak pernah mengurangi impor beras setiap tahunnya.
“Sepertinya tak ada lagi tempat bagi petani negeri ini untuk menjadi pemilik pasar pertanian. Tidak ada perhatian terhadap mereka, tak ada perlindungan, apalagi bantuan,†kata Maksum dalam diskusi bukunya di PSPK, Kamis sore (7/4).
Menurutntya, sekarang posisi petani semakin terjepit, bukan karena situasi alam dengan musim yang tidak bisa diduga karena perubahan iklim. Tapi pupuk, bibit unggul, pestisida dan bahan perta nian lainnya kini harganya kian melambung tinggi. Sering kali menjadi langka jika musim tanam tiba. “Anehnya, ketika petani bingung menetapkan musim tanamnya, pemerintah tidak membantu mencarikan solusi yang efektif dan produktif, justru megimpor produk pertanian termasuk bahan pokok,†katanya.
Selain itu, petani juga menghadapi biaya produksi yang tinggi ditambah rendahnya harga jual produk pertanian. Mereka juga diharuskan berkompetisi dengan produk impor yang dilindungi negaranya. “Buku ini ‘menjadi saksi’, betapa petani kita miskin dan petani selalu kalah akibat kebijakan yang ada. Sedangkan arah pembangunan pertanian juga tidak jelas,â€katanya.
Ekonom UGM Rimawan Pradiptyo, Ph.D yang mengulas Buku Rakyat Tani Miskin (RTM) karya prof Maksum menyampaikan buku tersebut lebih banyak mengulas tentang berbagi strategi pembangunan yang dipilih oleh pemerintah sejak Orde Baru hingga sekarang. “Di buku ini secara lugas Prof Maksum membuktikan pada dasarnya kebijakan ekonomi dari sejak Orde Baru hingga sekarang cenderung status quo,†kata Rimawan.
Karena kebijakan status quo tersebut berdampak pada keterpurukan di sektor pertanian yang terjadi secara terus menerus. Rimawan menilai Prof. Maksum sangat jeli dalam melihat inkonsistensi kebijakan pemerintah, ‘isuk impor sore ekspor’, ataupun juga kebijkan yang mengatasnamakan petani, namun bukan petani yang mendapat keuntungan terbesar. “Hal lain yang disoroti dibuku ini adalah ketidakberpihakan kebijakan kepada petani dan lemahnya bargaining position pemerintah terhadap lembaga donor asing,†paparnya.
Rimawan menambahkan, dari analisis prof Maksum menegaskan petani adalah pelaku ekonomi yang rasional, hal yang seringkali dilupakan oleh para pengambil kebijakan. Diakui Rimawan, analisis ini sangat relevan dengan kondisi kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah saat ini. Pasalnya, pengambilan kebijakan seringkali kurang didasarkan pada basis teori yang kuat dan disesuaikan dengan kondisi indonesia. “Banyak kebijakan yang cenderung mengadopsi kebijakan dan perekonomian lain yang berbeda dari kondisi perekonomian dan struktur masyarakat Indonesia,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)