YOGYAKARTA – Perilaku korupsi di Indonesia barangkali tidak akan pernah habisnya. Bahkan bisa jadi akan semakin bertambah. Kok bisa? Soalnya tidak ada hukuman yang memberi efek jera bagi seorang koruptor. Lebih anehnya, di negeri ini rakyat miskin justru mensubsidi koruptor yang notabene adalah orang kaya. Buktinya, data selama 2001-2009, jumlah uang yang dikorupsi mencapai Rp 73,07 Triliun, namun total nilai hukuman finansial yang dijatuhkan hanya Rp 5,32 T atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Lalu siapa yang menanggung kerugian negara sebesar Rp 67,75 T?
“Tentu saja saja para pembayar pajak mulai dari ibu-ibu pembeli sabun colek dan mie instant. Anak-anak yang membeli permen. Mahasiswa yang membeli pulsa HP,†kata peneliti ekonomi kriminalitas dari Fakultas ekonomika dan bisnis UGM Dr. Rimawan Pradiptyo dalam menyampaikan evaluasi pemberantasan korupsi, Jumat (8/4).
Dana yang dikorupsi tidak pernah dikembalikan oleh koruptor ke Negara. Meski yang bersangkutan sudah menjalani hukuman. Namun demikian, dana yang telah dikorupsi tersebut justru dibebankan kepada rakyat yang harus membayarnya dengan pajak tidak langsung. “Pendapatan negara berkembang lebih banyak berasal dari pajak tidak langsung, seperti pajak penjualan. Jadi setiap kita membeli barang, tidak ubahnya mengganti dana yang sudah dikorupsi,†ungkapnya.
Sistem ini terbentuk, kata Rimawan, disebabkan Jaksa dan hakim dalam pemutusan perkara tidak selalu menjatuhkan hukuman pembayaran uang pengganti sebesar jumlah uang yang dikorupsi.
Biaya sosial ekonomi masyarakat yang dirugikan tidak menjadi bahan untuk menentukan putusan. “Pembuktian korupsi belum didasarkan pada hitungan biaya ekonomi, namun tetap didasarkan pada biaya eksplisit korupsi dan belum memperhitungkan biaya oportunitas yang hilang akibat korupsi,†tukasnya.
Selama putusan MA dari 2001-2009 menangani 549 kasus korupsi yang melibatkan 831 terdakwa. Berdasarkan data, sekitar Rp 73,1 T dengan didominasi kelas kakap Rp 72,2 T. Padahal nilai korupsi kelas kakap melebihi Rp 25 Milyar. “Itu tidak logis, jika orang yang taat membayar pajak harus membayar koruptor yang notabene orang kaya dan berpendidikan,†ujarnya.
Rimawan juga mengkritisi RUU Tipikor yang dibahas saat ini sangat tidak berupaya memiskinkan para koruptor. Salah satunya, diturunkan intensitas denda bagi pelaku korupsi yang sebelumnya maksimum Rp 1 miliar menjadi Rp 500 juta dengan tidak melihat berapa pun nilai korupsi. “Denda Rp 1 milyar itu dibuat tahun 2001. Padahal inflasi selama 10 tahun sudah 100 persen, sekarang denda diturunkan jadi 500 juta,†ujarnya.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ini juga mengkritisi RUU Tipikor yang tidak memasukkan money politik dalam tindak pidana korupsi. Ia juga menyayangkan dihapuskannya hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati dalam RUU anti korupsi. Selain itu, mantan koruptor sebaiknya tidak memiliki hak untuk dipilih menduduki jabatan publik. “Yang jelas, RUU ini menutup celah untuk memiskinkan koruptor,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)