YOGYAKARTA – Kebijakan pangan nasional yang diambil pemerintah saat ini dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap petani. Kebijakan yang ada juga tidak mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan nasional, tetapi lebih ke arah politik pencitraan dengan adanya kebijakan bebas bea masuk pangan impor. Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Politik Pangan untuk Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, yang digelar di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Selasa (12/4). Seminar dalam rangka perayaan ulang tahun ke-38 PSPK UGM ini menghadirkan pengamat ekonomi pertanian UGM, Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz, peneliti pangan, Dr. Eni Harmayani, M.Sc., dan Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K) selaku moderator.
Maksum menilai kebijakan pemerintah sangat tidak cerdas dan cenderung untuk kepentingan sesaat dengan melakukan kebijakan pangan murah dan bebas bea masuk pangan impor. “Banyak kebijakan kontroversial dan kontraproduktif, misalnya Presiden menginstruksikan adanya program kemandirian pangan. Namun, kebijakan yang diambil justru melakukan bebas bea masuk pangan impor,†ujar Maksum.
Selain itu, pemerintah juga tidak melakukan proteksi hasil pertanian dalam negeri. Hal tersebut berbeda dengan yang dilakukan Pemerintah China yang memberikan kebijakan pertanian pro rakyat. “Untuk bisnis unggas saja, di negara lain pakan diproteksi, bahkan diberikan secara gratis untuk melindungi petaninya,†imbuhnya.
Kebijakan industrialisasi yang tidak pro pertanian ini, menurut Maksum, menyebabkan sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum dan terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, dan garam 70%.
Melihat kondisi tersebut, Maksum pesimis target swasembada beberapa komoditas pangan yang dicanangkan pemerintah akan tercapai. “Program swasembada daging sapi itu sudah lima kali dicanangkan. Semuanya belum berhasil,†ujarnya. Maksum juga berpendapat sudah saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan pangan nasional yang pro pertanian dengan memberikan perlindungan terhadap petani, mulai dari harga jual, bibit, pakan, hingga kebijakan agroindustri yang melindungi petani.
Sementara itu, peneliti pangan, Eni Harmayani, mengatakan ketergantungan pada produk terigu dan beras saat ini di masyarakat sangat rawan. Oleh karena itu, perlu diatasi dengan kebijakan diversifikasi pangan lokal. Tidak adanya kebijakan yang berpihak pada pangan lokal dan rendahnya pengetahuan serta konsumsi makakan bergizi telah menyebabkan masyarakat kurang mengapresiasi pangan lokal. “Masih ada yang menganggap pangan lokal ini inferior,†katanya.
Menurut Eni, potensi pangan lokal di masing-masing daerah cukup beragam. Dari hasil penelitiannya, beberapa jenis pangan lokal di DIY yang potensial untuk dikembangkan adalah jenis umbi-umbian, seperti ubi kayu, garut, ubi jalar, dan ganyong. “Masyarakat DIY masih mengenal, mengonsumsi, dan membudidayakan 10 jenis umbi ala kadarnya, kecuali ketela pohon dan ubi jalar,†jelasnya.
Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini menjelaskan umbi-umbian lokal mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap pangan impor. Pangan lokal ini bahkan memiliki potensi lebih baik daripada bahan impor karena mempunyai kesesuaian biologis yang lebih tinggi dengan manusia dan mikrobiota lokal Indonesia. (Humas UGM/Gusti Grehenson)