Ulat bulu yang menyerang tanaman di beberapa daerah di Indonesia dinilai sebagai siklus kejadian biasa. Hanya saja, tingginya populasi ulat saat ini tengah menjadi perhatian banyak pihak. Menurut Wakil Menteri Pertanian RI, Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, tingginya populasi ulat terjadi akibat perubahan iklim di tahun 2010. Perubahan ini berdampak makanan ulat menjadi tersedia banyak, sementara musuh alami tertekan hingga mengalami penurunan. “Sehingga terjadilah booming ulat,” ujar Bayu di Ruang Sidang Fakultas Pertanian UGM, Kamis (14/4), menanggapi fenomena serangan ulat bulu di Indonesia.
Ulat bulu jenis archetornis sp. yang menyerang di Probolinggo dan beberapa daerah lain, dalam pengamatan Bayu, sebagai jenis ulat yang paling banyak menyebabkan kerugian. Sementara untuk jenis-jenis lain dianggap hamles (tidak berbahaya). “Hanya saja, kita bisa memahami kekhawatiran masyarakat. Bagaimanapun ulat ini kalau istilah orang Jawa ya tetap ‘nggilani’,” katanya.
Bayu mengakui pengamatan yang dilakukan UGM, Kementerian Pertanian dan beberapa perguruan tinggi lain belum usai hingga kini. Data sementara menyebutkan Probolinggo yang dianggap daerah paling besar terkena dampak serangan, ternyata area serangan tidak seperti yang dibayangkan. “Relatif tidak besar hanya 1,5% dari total pohon mangga. Artinya, dari 1.800.000 pohon, yang terkena sekitar 14.500 pohon,” terangnya.
Dari 14.500 pohon diperkirakan 40%-50% atau sekitar 7.000 pohon mangga tidak dapat berbuah untuk tahun ini. Meski begitu, banyak pihak masih mengalami kesulitan untuk memprediksi jumlah kerugian yang diderita masyarakat. “Namun, sekali lagi saya tegaskan tanaman tidak mati. Mudah-mudahan tahun depan pohon-pohon mangga ini akan pulih dan berbuah kembali,” tambahnya.
Secara umum, serangan ulat ini dimulai dari 2 batang, 3 batang, 5 batang, dan seterusnya. Beruntung, di daerah Probolinggo saat ini sudah mulai tumbuh parasit alami sebagai musuh alami berupa jamur dan bakteri dari ulat itu sendiri. “Di daerah Probolinggo ini parasitasinya, artinya ulat yang terserang oleh parasit alaminya sudah mencapai 80% sehingga dengan hitung-hitungan sederhana dalam beberapa minggu ke depan ulat ini diperkirakan menghilang dengan sendirinya karena ini bagian dari proses ekologis. Dengan begitu, kalau tidak mati, yang hidup akan menjadi ngengat,” jelasnya.
Sehubungan dengan itu, para pakar UGM saat ini sedang membantu proses pembentukan parasit alami ini. Dengan mengelola parasit ini diharapkan pencegahan dapat ditempuh dalam waktu cepat. Bagaimanapun pencegahan secara hayati merupakan langkah tepat dari serangkaian pilihan. “Dengan begitu maka pencegahan dengan insektisida menjadi pilihan paling akhir meskipun pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, telah menyiapkan cadangan insektisida untuk membasmi serangan ulat bulu ini,” terang Bayu.
Lebih lanjut, Bayu menerangkan ulat bulu ini sesungguhnya telah ditemukan sejak 1879 atau lebih dari 100 tahun lalu. Sementara itu, populasi terjadi secara musiman. Ulat yang menyerang di Yogyakarta berbeda dengan yang menyerang di Probolinggo. “Tentu akan kita pelajari terus, yang pasti ulat ini binatang yang mencari makan pada malam hari. Sedang di siang hari, ia malu-malu terkena sinar matahari sehingga ia suka sembunyi dan menempel di pohon dan pada siang hari itulah saat yang tepat untuk melakukan pengendalian,” ujar Bayu.
Ulat Bulu di Yogyakarta
Terkait serangan ulat bulu di Yogyakarta, Kepala Dinas Pertanian DIY, Ir. Nanang Suwandi, M.M.A., mengatakan hampir sebagian besar wilayah kabupaten/kota telah terserang ulat bulu. Di Kabupaten Kulon Progo, kejadian di tiga kecamatan, Wates, Nanggulan, dan Sentolo. Di Kecamatan Wates, ulat menyerang 3 pohon mangga dengan 65% berwujud ulat dan pupa terinfeksi agens hayati. Di Kecamatan Nanggulan dan Sentolo 1 pohon mangga telah diserang. Di Bantul, ulat menyerang di Kecamatan Bambanglipuro, yakni di 2 pohon mangga, sedangkan di Palbapang 1 pohon rambutan. “Di Sleman ulat menyerang di Kecamatan Gamping pada pohon semak-semak dan Kecamatan Depok pada 2 pohon kedondong, sedangkan di kota, serangan ulat terjadi di Kecamatan Mantrijeron dan ditemukan pada tanaman bunga kenanga,” terang Nanang Suwandi.
Untuk mencegah meluasnya serangan ulat bulu, Kepala Dinas Pertanian DIY mengatakan beberapa langkah koordinasi telah dilakukan, baik dengan dinas terkait maupun pemerintah kabupaten/kota. Beberapa langkah lain yang ditempuh, di antaranya dengan melakukan pengamatan tanaman, sanitasi (mengubur dahan dan daun yang tidak produktif), dan pengendalian mekanis, yakni dengan mengumpulkan telur, ulat, dan kepompong untuk dimusnahkan. “Kami juga mencoba menggunakan sinar ultraviolet dan penggunaan agens hayati Beauveria sp. dengan cara disemprotkan, sementara penggunaan insektisida masih sebatas senjata terakhir,” tuturnya. (Humas/ Agung)