Kenaikan harga minyak dunia akibat krisis ekonomi global pada tahun 1997 telah menyebabkan terjadinya risiko fiskal di Indonesia. Risiko fiskal terjadi karena pemberian subsidi bahan bakar minyak (bbm), subsidi listrik, dan DBH migas terutama setelah Indonesia menjadi negara pengimpor minyak netto. Hal tersebut disampaikan oleh Sri Suharsih , S.E., M.Si., staf pengajar pada Fakultas Ekonomi UPN Veteran Yogyakarta saat ujian terbuka program doktor, senin (18/4) di Ruang Audio Visual Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.
Suharsih menyebutkan risiko fiskal terbesar yang dihadapai Indonesia terjadi pada 2007. Pada tahun 2007 harga minyak dunia mencapai angka US 199 dollar per barrel. Apabila dikaitkan dengan sustainabilitas fiskal, risiko fiskal yang disebabkan adanya kenaikan harga minyak dapat mengganggu pencapaian sustainabilitas fiskal.
Dari hasil uji yang dilakukan Suharsih, diketahui bahwa selama 1997-2008 telah terjadi perubahan struktural pada rasio networth per GDP. Perubahan tersebut terjadi saat Indonesia mengalami krisis moneter yang dibarengi dengan kenaikan harga minyak dunia fase keempat sebagai akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran minyak. “Hal ini mengindikasikan mulai tahun 1997 terjadi risiko fiskal bisa membahayakan pencapaian sustainibilitas fiskal,†jelas wanita kelahiran Makasar, 19 Desember 1969.
Ditambahkan Suharsih, dalam jangka panjang harga minyak dunia akan mempengaruhi risiko fiskal di Indonesia. Selain harga minyak dunia, risiko fiskal Indonesia dalam jangka panjang juga dipengaruhi konsumsi bahan bakar minyak. “Kenaikan harga minyak dunia dan konsumsi bbm direspon positif oleh risiko fiskal,†kata Suharsi.
Dalam disertasi berjudul “Harga Minyak Dunia dan potensi Risiko Fiskal di Indonesiaâ€, Suharsih mengatakan bahwa kenaikan harga minyak berpeluang besar bagi terjadinya risiko fiskal di Indonesia yang dapat membahayakan pencapaian sustainibilitas fiskal. “ Pemerintah seharusnya mengakomodir hal tersebut dengan melakukan sejumlah kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan pemberian subsidi BBM, subsidi listrik, dan dana DBH migas,†tegasnya.
Sementara itu, guna mengurangi risiko terkait dengan harga minyak Suharsih menghimbau pemerintah untuk menggunakan hedging (lindung nilai) terhadap risiko kenaikan harga minyak dunia. Selain itu kondisi Indonesia yang rentan terhadap gejolak perubahan kurs memerlukan alternative kebijakan nilai tukar yang lebih memberikan kepastian dan stabilitas. “Terkait konsumsi bbm, pemerintah bisa melakukan batas pemberian sibsidu ataupun membuat mekanisme pemberian subsidi agar tidak salah sasaran. Selain itu juga mengupayakan penghematan konsumsi energi minya ata menggunakan energi alternative non minyak,†pungkasnya. (Humas UGM/Ika)