YOGYAKARTA- “Tanpa politik keilmuan yang jelas, kebijakan pemerintah mendorong universitas-universitas di Indonesia agar go international sangatlah riskan. Apalagi ilmu sosial di Indonesia boleh jadi masih terbelit krisis pengembanganâ€. Hal ini dipaparkan oleh Prof. Drs. Purwo Santoso, MA, Ph.D., dalam orasi pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas ISIPOL di Balai Senat UGM, Selasa (19/04). Orasi pengukuhan Purwo Santoso tersebut mengambil judul Ilmu Sosial Transformatif.
Lebih lanjut Purwo Santoso mengatakan tekad UGM dan universitas-universitas lainnya untuk menjadi universitas riset kelas dunia (World Class Research University) mensyaratkan kepiawaian dan keteguhan universitas sebagai lembaga pengembangan ilmu. Persyaratan ini semakin terabaikan oleh derasnya arus industrialisasi pendidikan. Krisis ilmu sosial yang masih berlangsung harus cepat-cepat diatasi agar para ilmuwan tidak semakin terbuai oleh label world class.
“ Harus ada politik keilmuan agar berjaya di kancah internasional. Sayangnya, hal ini luput dari perhatian para ilmuwan sosial sendiri karena patuhnya mereka pada ajaran: ilmu sosial harus netral,â€kata Purwo.
Politik keilmuan diperlukan karena ilmu pengetahuan adalah alat kekuasaan. Pengembangan ilmu dalam skala global berlangsung dalam peta kekuatan dan kekuasaan global juga. Dari pendapat sederhana ini, cukuplah alasan untuk mengatakan bahwa jerih payah bersama dalam pengembangan ilmu, termasuk ilmu-ilmu sosial, tidak mungkin bersifat netral. Ia mencontohkan negara-negara Amerika Latin dan Asia Timur memiliki politik keilmuan yang jelas untuk menghadapi supremasi keilmuan negara-negara Barat.
“Teori-teori yang mereka pakai, termasuk teori sosial, tidak diasumsikan netral. Penjelasannya mereka tentang realita pun tidak apa adanya, karena memang ada apa-apanyaâ€, jelas priakelahiran Jepara tahun 1963 ini.
Purwo juga menjelaskan untuk go international UGM harus sanggup berperan sebagai produsen ilmu. Keterlibatan di kancah internasional dalam bidang keilmuan idealnya tidakhanya ‘pengimpor’, namun juga ‘pengekspor’. Caranya tidak cukup dengan belajar ke luar negeri, tapi juga mengkondisikan orang asing belajar kepada kita.
Tanpa bermaksud mengharamkan, Purwo mengingatkan bahwa penerapan paket-paket teori impor, apalagi yang belum sempat dikaji-sesuaikan dengan kondisi Indonesia, acapkali memunculkan sejumlah persoalan baru. Ironisnya, ketika teori yang diterapkan tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, para ilmuwan justru merasa perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Politik pengembangan ilmu, imbuh Purwo, sebetulnya sudah dibakukan dalam sesanti Tri Dharma Perguruan Tinggi. Hanya saja ketiganya harus dipahami sebagai suatu kebulatan. Istilah transformatif yang digunakan Purwo, sebetulnya adalah penegasan tentang hal itu.
Doktor lulusan London School of Economics and Political Science ini mengusulkan agar basis dharma pendidikan dan dharma penelitian, adalah pengabdian pada masyarakat. Jelasnya, pengabdian pada masyarakat tidak semestinya diperlakukan sebagai beban tambahan.
Selain mengusulkan pemaknaan ulang Tri Dharma Perguruan Tinggi, Purwo menengarai adanya problema kolektif yang menyelimuti komunitas ilmuwan sosial di negeri ini. Ada tanda-tanda bahwa dalam upayanya untuk mengembangkan ilmu sosial, mereka mengalami collective learning difficulty (kesulitan belajar dalam kebersamaan).
“Universitas bisa saja menghasilkan sarjana, master, tenaga-tenaga profesional dan doktor yang baik, namun belum tentu memiliki kecanggihan dalam hal pembelajaran demi menghasilkan temuan-temuan baruâ€, tegas Ayah dari Yulida Nur Aini, Riza Maslahati, serta Nabila Fikria ini.
Ilmu sosial transformatif menuntut kerja keras ilmuwan sosial di dua titik ekstrim. Satu sisi mereka dituntut untuk mempertebal penghayatan tentang kaidah fisolofi keilmuan. Namun di sisi lain, mereka dituntut ambil bagian dalam mewujudkan penghayatan filosofis tersebut ke dalam proses social crafting. Inilah kultur akademik yang didambakan.
Di penghujung pidatonya, Ketua Jurusan Politik-Pemerintahan (JPP) UGM ini secara khusus menekankan bahwa tanggung jawab pengembangan ilmu sosial transformatif ada pada komunitas keilmuan, namun bukan berarti jajaran pengelola universitas lepas tangan. Dalam belitan krisis ilmu sosial seperti sekarang, pengkondisian dari sisi manajemen sangat diperlukan. Sayap keilmuan dan sayap pengelolaan haruslah mengepak bersama agar kita bisa berjaya sebagai World Class Research University .
Hadir dalam pengukuhannya sebagai guru besar UGM tersebut antara lain Akbar Tanjung, Idrus Marham, Bupati Sorong Selatan, dan Bupati Sleman (Humas UGM/Satria AN)