YOGYAKARTA-Peristiwa peledakan bom yang terjadi di Cirebon belum lama lalu diperkirakan masih akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Kasus peledakan bom dengan skala kecil dan ‘kampungan’ tersebut masih akan mewarnai kondisi keamanan Indonesia. ‘Kampungan’, karena dilakukan bukan lagi di tempat-tempat vital yang dibayangkan seperti hotel, cafe, istana Kepresidenan dll, tapi misalnya justru di masjid.
Ironisnya, aparat keamanan belum siap untuk mengantisipasi modus baru yang dilakukan teroris ini. Modus peledakan dengan skala kecil itu dilakukan oleh semacam ‘foot soldier’ atau ‘orang baru’ baik yang punya hubungan organisasi maupun lepas dari kelompok yang diduga teroris.
“Selama ini pemerintah lebih fokus melihat kasus ini dilakukan hanya oleh gerakan/kelompok radikal dan dengan bom yang berdaya ledak besar. Asumsi ini berbahaya dan harus dirubah dengan melihat modus bom Cirebon misalnya yang hanya berdaya ledak rendah,”ujar peneliti dari Institute of International Studies (IIS) Jurusan Hubungan Internasional (HI) Fisipol UGM, Dr. Eric Hiariej, M.Phill, Rabu (20/4).
Eric menjelaskan jika pemerintah masih semata-mata melihat kasus teror di Indonesia hanya akan dilakukan oleh kelompok radikal semacam Jamaah Islamiyah (JI) adalah salah. Hal tersebut menurutnya tidak akan mampu menemukan ‘kunci/otak’ di belakang tindak terorisme.
Ia juga menilai organisasi teroris di Indonesia sebenarnya tidak serapi yang dibayangkan oleh pemerintah. Data yang dimiliki oleh intelijen tentang organisasi teroris ini sulit untuk diverifikasi validitasnya.
“Memang punya organisasi dan kepengurusan, tapi tidak serapi yang kita bayangkan. Apalagi datanya berasal dari intelijen yang sulit diverifikasi,”papar Eric.
Di tempat sama, peneliti IIS lainnya, Titik Firawati, SIP, MA, mengatakan gerakan radikal di dunia bukanlah suatu permasalahan jika membawa sebuah perubahan yang bermakna di masyarakat. Ia mencontohkan gerakan radikal yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi di India, hingga Martin Luther King di Roma. Yang salah adalah ketika radikalisme dilakukan dengan cara-cara kekerasan dan merusak fasilitas publik.
Dalam kesempatan itu, Titik menilai pemerintah selalu panik dalam menangani kasus terorisme. Ia mengusulkan selain solusi jangka pendek, perlu mulai dipikirkan solusi jangka panjang penanganan terorisme melalui sektor ekonomi, sosial, dan pendidikan.
“Sepakat saja jangka pendek dengan Densus 88, tapi itu tidak menyelesaikan masalah sehingga perlu solusi jangka panjang,”kata Titik.
Satu hal yang menurut Titik tidak bisa dilepaskan adalah memotong proses rekrutmen teroris baru melalui sektor pendidikan. Sejauh ini dalam pengamatannya tidak sedikit sekolah berbasis agama yang mengajarkan kebencian terhadap pemeluk agama lain.
“Sekolah yang mengajarkan ‘hate’ atau kebencian ini yang harus dipotong dengan program jangka panjang di dunia pendidikan tadi,”imbuhnya.
Selain itu pada kesempatan tadi IIS UGM juga mengeluarkan beberapa tanggapan terutama pada kasus bom Cirebon. IIS menilai sosok Muh. Syarif Astanagarif bukanlah aktor tunggal dan baru, karen amustahil aksi tersebut dilakukan oleh aktor yang tak terlatih sebelumnya. Karena itu penting untuk menelusuri lebih jauh aktor lain yang bermain.
Disamping itu, kasus bom bunuh diri dengan motif pembalasan dendam atau karena pengaruh broken home, sebagaimana statemen pemerintah yang dimuat di beberapa media masa, merupakan pendapat yang prematur. Sedangkan lokasi peledakan yang memilih masjid perlu dicermati secara kritis. Hal ini penting sekaligus berbahaya. Karena jika aksi bom kali ini didalangi oleh aktor terencana, maka tempat dilakukannya bom bunuh diri yang tidak lagi memandang apakah itu tempat ibadah umat Islam atau tidak menunjukkan pergeseran tujuan dan pola (Humas UGM/Satria AN)