Konsep special and differential treatment (S&D) dalam WTO sampai saat ini masih mengundang kontroversi terutama dari negara maju. Pasalnya, secara sekilas konsep ini terlihat tidak konsisten dengan filosofi dasar dalam perjanjian WTO yaitu liberalisme. Konsep S&D menghendaki adanya perbedaan perlakuan di WTO yang menguntungkan para anggota dari negara sedang berkembang. Sementara filosofi liberal WTO menghendaki perlakuan yang sama terhadap anggota-anggotanya.
Nandang Sutrisno, Ph.D., staf pengajar Fakultas Hukum UII menyebutkan konsep S&D sebenarnya tidak bertentangan dengan paradigm liberalisasi dalam WTO. Dalam hal ini S&D diposisikan sebagai salah satu instrument dari liberalism untuk mencapai tujuan pembangunan dan keadilan bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan internasional di bawah payung WTO.
“ S&D dalam hal ini diposisikan sebagai instrument untuk menghapus kesenjangan dan alat untuk mencapai persamaan antara negara sedang berkembang dengan negara maju,’ kata Nandang.
Dalam seminar ” WTO and Third World Countries” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM, Selasa (19/4) di Gedung Pascasarjana FISIPOL UGM, Nandang menuturkan konsep S&D digunakan untuk menyeimbangkan posisi negara sedang berkembang dengan negara-negara maju. Prinsip tersebut memperkuat eksistensi S&D sebagai instrument hukum dalam perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral. Konsep S&D merupakan keadilan subtantif yag dirumuskan, dinterpretasikan, diemplementasikan, serta diberlakukan sebagai peradilan formal.
Sementara itu Ketua WTO Chairs Programme (WCP) UGM/Indonesia, Drs. Riza Noer Arfani,M.A., menyampaikan tentang proses glokalisasi dalam menghadapai pertentangan antara globalisasi dengan konsep lokal. Menurutnya proses glokalisasi yang menggabungkan arus globalisasi dari atas dengan berbagai tradisi, nilai, atau ide lokal merupakan tema yang perlu dikaji lebih dalam. Proses ini perlu dikaji mendalam tak hanya untuk mencegah pertentangan antara globalisasi dengan lokal tidak terjadi secara ekstrim, namun juga untuk mendampingi proses hiper globaliasi. (Humas UGM/Ika)