Eksekusi putusan arbitrase internasional masih sulit dilakukan meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York. Pengadilan Indonesia sering melakukan penolakan putusan arbitrase internasional dengan sejumlah alasan, salah satunya keputusan yang bertentangan dengan ketertiban umum yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut dikemukakan oleh Herliana, S.H., M.Comm.Law., staf pengajar Fakultas Hukum (FH) UGM, pada jumpa pers dalam rangka Seminar ‘Recognition and Enforcement of Interantional Arbitration Awards Under New York Convention 1958 and Indonesia Arbitration Law’ , Senin (25/4), di FH UGM .
Dalam kesempatan tersebut, Herliana mengatakan penolakan eksekusi arbitrase internasional memang dapat dilakukan apabila keputusan tidak memenuhi tiga hal, yakni putusan yang belum final, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan ketertiban umum, serta putusan yang menurut hukum Indonesia tidak termasuk sengketa perdagangan. “Di Indonesia, banyak putusan arbitrase asing yang ditolak pelaksanaannya, seperti pada kasus penolakan arbitrase internasional di Indonesia pada kasus Pertamina vs Karaha Bodas Company. Pengadilan Indonesia menilai putusan tersebut tidak termasuk dalam lingkup perdagangan dan bertentangan dengan ketertiban umum. Kasus ini memperlihatkan bahwa pengadilan Indonesia masih saja melakukan intervensi pada putusan arbitrase internasional,†jelasnya.
Menurut Herliana, penerapan definisi ketertiban umum/public policy secara konkret tidak selalu jelas meskipun ketertiban umum dirumuskan sebagai suatu ketentuan dan sendi-sendi pokok hukum dan kepentingan nasioanal suatu bangsa. Dunia internasional memandang hal ini sebagai suatu ketidakpastian hukum.
Lebih lanjut dikatakan Herliana bahwa adanya penolakan arbitrase internasional justru akan menghambat masuknya investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. “Dengan banyaknya putusan arbitrase asing yang tidak dilaksanakan, di mata dunia Indonesia dinilai sebagai negara yang tidak mendukung investasi asing,†ujarnya. (Humas UGM/Ika)