Kenaikan harga BBM berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin. Dengan mengamsumsi peningkatan 118 persen harga BBM pada 2005 lalu, berdampak pada kenaikan penduduk miskin sebesar 4,2 juta orang, maka sangat dimungkinkan penduduk miskin akan meningkat hingga 1,02 juta jiwa secara nasional dengan distribusi 0,50 juta pada masyarakat perkotaan dan 0,51 juta pada masyarakat pedesaan.
“Angka ini tentu saja masih sangat mungkin berubah karena berkaitan dengan faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi kemiskinan di indonesia,†tegas Guru Besar Ilmu Ekonomi UII Prof Dr Edi Suandi Hamid dalam diskusi ‘Ekonomi Rakyat Pasca Kenaikan Harga BBM’, Kamis Sore (12/6) di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan PSPK) UGM.
Hal ini tentu berbeda denga asumsi pemerintah sebelumnya yang berkeyakinan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM tidak akan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Saat itu, ekonom pemerintah memperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin dapat dikurangi dari 16,6 persen pada 2007 menjadi 14,2 persen pada tahun 2008 dan 12,5 persen pada tahun 2009.
“Angka prediktif pemerintah ini, terlalu ambisius, saya justru melihat penduduk miskin akan mencapai 41,1 juta jiwa atau sekitar 21,9 persen pada akhir 2008,†jelasnya
Peningkatan angka penduduk miskin ini, jelas Edy, terjadi karena pemerintah memang belum sepenuhnya siap mengantisispasi dan mengendalikan dampak-dampak dari kenaikan harga BBM tersebut. Pemerintah misalnya gagal mengelola ekspektasi masyarakat dengan menunda-nunda pengumuman kenaikan harga BBM. Padahal, harga kebutuhan dan sejumlah barang telah naik akibat spekulasi berkepanjangan.
Selain itu, pemerintah juga belum secara optimal melaksanakan kebijakan yang terkait kebijakan lanjutan terkait stabilitas harga, juga termasuk penetapan dan penyesuaian biaya transportasi yang lamban, serta sejumlah persoalan terkait penyaluran BLT.
Sementara, kebijakan pemerintah menutup dampak negatif kenaikan harga BBM dengan pemberian sejumlah bantuan kompensasi, termasuk BLT, seperti pengalaman di masa lalu bukan hanya akan menambah masalah baru pada distribusi bantuan yang efektif tetapi juga berpeluang terjadinya korupsi baru yang bahkan akan sampai pada tingkat organisasi kemasyarakatan tingkat bawah.
“Tambahan bantuan lewat BLT ini sebenarnya belum mampu mengganti besarnya biaya hidup tambahan yang diakibatkan kenaikan BBM, belum lagi risiko konsumerisme dan ketergantungan masyarakat penerima bantuan yang justru akan sangat kontraproduktif dengan kepribadian bangsa,†kata Rektor UII Yogyakarta ini.
Menurut Edy, mainstream kebijakan pemerintah yang selalu menjawab permasalahan kenaikan harga minyak dunia dengan menaikkan harga BBM dalam negeri telah menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah masih belum memihak pelaku ekonomi yang lebih banyak berkecimpung di sektor usaha kecil.
“Padahal sektor usaha kecil telah menunjukkan kontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja dengan 70 juta tenaga kerja terserap dan memberikan kontribusi hampir 40 persen terhadap PDB,†katanya.
Dijelaskan, Edy, jika ditambah tingginya harga pangan dunia, maka kondisi pelaku ekonomi usaha kecil akan semakin memprihatinkan. Maka dari itu, Edi mengusulkan pemerintah segera meningkatkan investasi untuk meredam tingginya angka pengangguran yang timbul akibat naiknya harga BBM ditambah dengan pemberian bantuan yang efektif kepada masyarakat yang membutuhkan.
Namun bantuan yang efektif menurut Edy, adalah bantuan yang mampu pada tahap awal menutupi kebutuhan hidup masyarakat sekaligus mampu membangun kemandirian bagi pelaku usaha di sektor ekonomi rakyat.
Kendati begitu, bantuan dan pengembangan ekonomi karakyatan sebenarnya tidak hanya menjadi kewajiban emerintah pusat saja melainkan juga pemerintah daerah yang sebenarnya memiliki lebih banyak peluang dan kemampuan dalam mengelola kebijakan yang diarahkan untuk membantu pelaku usaha ekonomi kerakyatan.
“Caranya, selain dengan mengalokasikam dana khusus untuk pendanaan juga bisa dilakukan dengan memfasilityasi kebutuhan pelaku ekonomi kerakyatan agar produknya menjadi produk unggulan daerah. Beberapa pemerintah daerah di Indonesia telah melakukan pilihan kebijakan melalui pemberian kredit lewat Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang didesain memberikan keringanan kredit kepada nasabah yang feasible. Terbukti kebijakan semacam ini lebih mampu membantu masyarakat untuk mandiri tanpa harus bergantung pada pemerintah,†tandasnya.
Dalam jangka panjang, ungkap edy, peran pemerintah daerahlah yang akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional. Melihat berbagai kebijakan pemerintah pusat yang seringkali gagal meningkatkan kualitas pembangunan rakyat, maka peran pemerintah daerah akan semakin dituntut. Termasuk diantaranya kontribusi BPD sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah di sektor perbankan untuk membantu terlaksananya tugas pemerintah daerah.
Di kesempatan yang sama, diungkapkan Pakar Studi Pedesaan dan Kawasan UGM Prof Dr Susetiawan SU, munculnya kenaikan harga BBM lebih disebabkan karena pemerintah tidak bisa menyelesaikan persoalan inefisiensi dalam pengelolaan keuangan negara dengan cara mengorbankan rakyat kecil. (Humas UGM/Gusti Grehenson)