YOGYAKARTA-Keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat diharapkan bukan hanya menjadi objek wisata, tetapi juga semacam suluh budaya yang dapat menyatukan konsep nasionalisme, baik untuk tingkat nasional maupun yang dimiliki oleh daerah (lokal). Dengan demikian, melalui konsep ini, kearifan peninggalan budaya budaya keraton akan tetap aktual dan bermanfaat bagi masyarakat. “Istimewanya Keraton Yogyakarta akan terjaga dengan menjadi sebuah suluh budaya dan jangan hanya mengedepankan simbol-simbol,” tutur pengamat politik dan pemerintahan Fisipol UGM, Prof. Purwo Santoso, M.A., Ph.D., dalam bedah buku ‘Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan HB IX’, yang diadakan di Perpustakaan UGM, Kamis (28/4).
Buku ini merupakan kumpulan pemikiran dan tulisan Heru Wahyu Kismoyo mengenai polemik status keistimewaan DIY. Heru Wahyu Kismoyo adalah mantan anggota DPRD DIY masa bakti 2004-2008, yang juga abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Heru dikenal sebagai penjaga gawang keistimewaan DIY karena tulisan-tulisannya terkait dengan keistimewaan tersebut.
Purwo mengatakan banyak pemikiran Sri Sultan HB IX yang masih relevan dan bermanfaat bagi proses demokratisasi, misalnya pemikiran tentang multikulturalisme Indonesia melalui konsep politik kebudayaan Yogyakarta. Di sisi lain, diakui Purwo, sering masih ditemui kesulitan untuk menyatukan pemikiran antara dunia akademis dengan konsep di keraton terkait dengan demokratisasi hingga pemerintahan. Untuk itu, ia berharap melalui beberapa pemikiran Sri Sultan HB IX yang mungkin belum semuanya tergali bisa dilanjutkan kembali untuk menjabarkannya lebih baik lagi. “Maka kita perlu lagi serius menjabarkan lebih baik pemikiran dari Sri Sultan HB IX ini, termasuk tentang konsep kesatuan dalam bingkai NKRI,” katanya.
Ditambahkan Purwo, salah satu cara untuk merumuskan kembali dan menjembatani Yogyakarta dalam bingkai NKRI, antara lain, dapat ditempuh melalui strategi budaya dan pendidikan. Yogyakarta sebagai pusat kota pendidikan dapat terus dikembangkan. “Dikenal dengan nama ‘horisontal learning’, Yogyakarta bisa tetap menyalurkan pengetahuan dan seluk-beluknya. Di sisi lain, kota pendidikan masih terjaga,” imbuhnya.
Sementara itu, penulis buku ‘Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan HB IX’, Heru Wahyu Kismoyo, mengatakan cikal bakal demokrasi di Indonesia justru berasal dari Yogyakarta. Heru berharap agar konsep budaya dan demokratisasi yang dimiliki oleh kerajaan yang ada di Indonesia tidak tergerus meskipun dalam bingkai NKRI. “Yogyakarta jangan sampai seperti Majapahit yang mungkin saat ini tinggal menyisakan ‘gerbang’-nya saja di Trowulan,” kata Heru.
Ia menjelaskan keistimewaan DIY disebabkan atas tiga hal, yakni sejarah pemerintahan, bentuk pemerintahan, dan kepala pemerintahan. Diakui Heru bahwa inti keistimewaan DIY belum dipahami secara utuh, padahal untuk memahami substansi keistimewaan dapat ditinjau dari sosio-kultural, sosio-historis, sosio-yuridis, dan sosio-politis.
Sri Sultan HB IX, menurut Heru, berharap agar kehidupan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tetap hidup ratusan tahun yang akan datang sebagaimana kehidupan kraton yang telah memberikan makna bagi kehidupan rakyatnya selama ratusan tahun silam, seiring sejalan dengan proses demokratisasi dalam tata pemerintahan Provinsi DIY. “Tegaknya demokrasi budaya tidak terlepas dari integrasi Kasultanan dan Pakualaman yang juga bermuara dari suara rakyat Ngayogyakarta. Itulah khitah keistimewaan DIY,” kata Heru.
Bedah buku dihadiri pula oleh kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, GBPH Yudaningrat, dan Dr. John Monfries, peneliti dari Australian National University. Monfries menilai Sri Sultan HB IX adalah figur yang sederhana dan cukup berhati-hati, terutama terkait dengan urusan politik. Namun, jika menyangkut pluralisme, Sri Sultan HB IX mampu mewadahinya dengan tetap menampung kalangan minoritas. “Sangat jarang saya lihat kritik-kritik beliau kepada tokoh-tokoh nasional, tapi saya rasa Sri Sultan HB IX figurnya lebih bagus dibandingkan Soekarno atau Soeharto. Figurnya sebagai politikus yang tidak banyak mengejar kekuasaan,” kata penulis disertasi ‘HB IX, Prince of the Republic’ tersebut. (Humas UGM/Satria AN)