Dalam rangka mengatasi kerugian sosial akibat goncangan inflasi dan goncangan output, koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal jauh lebih bermanfaat dibanding tidak melakukan koordinasi. Hasil simulasi membuktikan koordinasi kebijakan moneter dan fiskal (kebijakan fiskal endogen) menghasilkan fungsi kerugian lebih kecil dibanding tanpa koordinasi (kebijakan fiskal eksogen).
“Karenanya kebijakan moneter dan fiskal perlu ditingkatkan saat mengalami goncangan, melalui penguatan kelembagaan, seperti adanya semacam Dewan Moneter,” kata Wijoyo Santoso, SE., MA, Jum’at (29/4), saat melaksanakan ujian terbuka program doktor di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Menghadapi goncangan inflasi, kata Wijoyo, respon kebijakan moneter dan fiskal belum optimal. Hasil simulasi memperlihatkan fungsi kerugian yang lebih besar di mana kebijakan fiskal bersifat endogen dibandingkan fungsi kerugian apabila kebijakan fiskal bersifat eksogen. Sebaliknya dalam menghadapi goncangan output interaksi kebijakan moneter dan fiskal (kebijakan fiskal endogen) menghasilkan kerugian yang lebih kecil, dibandingkan fungsi kerugian apabila kebijakan fiskal bersifat eksogen untuk semua variasi bobot suku bunga dan output.
Sementara itu respon kebijakan moneter dan fiskal terhadap goncangan inflasi dan goncangan output secara bersama-sama terbukti juga belum optimal, karena nilai fungsi kerugian pada parameter hasil estimasi secara mutlak masih lebih besar jika dibandingkan dengan fungsi kerugian pada kombinasi parameter yang ada. “Oleh karena itu, untuk mencapai interaksi kebijakan moneter dan fiskal yang optimal volatilitas atau varian suku bunga perlu dijaga seminimal mungkin relatif terhadap varian output. Simulasi membuktikan semakin kecil varian suku bunga relatif terhadap variabel output akan menghasilkan fungsi kerugian yang lebih kecil,” ujar peneliti utama senior,PPSK, di Bank Indonesia.
Interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia ke substitusi atau komplementer, menurut Wijoyo, dipengaruhi oleh berbagai tipe goncangan. Hasil simulasi menyimpulkan interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia dalam periode observasi bersifat komplementer atau saling membantu dalam menghadapi goncangan inflasi. Sebaliknya interaksi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal bersifat substitusi atau saling menggantikan dalam menghadapi goncangan output.
Wijoyo berpandangan goncangan inflasi berupa kenaikan inflasi 1 persen akan mendorong otoritas moneter meningkatkan suku bunga kebijakan untuk mengendalikan inflasi, sedangkan otoritas fiskal akan mengurangi pengeluaran pemerintah atau defisit anggaran karena output dianggap sudah cukup meningkat.
“Goncangan output berupa kenaikan output sebesar 1 persen otoritas moneter tidak akan menaikkan suku bunga kebijakan karena kenaikan output tersebut tidak menimbulkan dampak inflasi yang signifikan, sedangkan otoritas fiskal akan mengurangi pengeluarannya karena menganggap output sudah cukup meningkat,” papar Wijoyo yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. (Humas UGM/ Agung)