Kerusakan hutan (deforestasi dan degradasi) sudah menjadi fenomena umum dan terjadi di semua negara yang memiliki sumberdaya hutan. Hanya saja derajat kerusakannya berbeda-beda antar negara yang satu dengan negara lainnya. Tingkat kerusakan sangat ditentukan bagaimana kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan sumberdaya hutan, khususnya kebijakan penggunaan lahan untuk penggunaan lainnya.
Demikian disampaikan Prof Dr Ir H San Afri Awang MSc saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM. Ketua jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan UGM ini mengucap pidato berjudul “Deforestasi da Konstruksi Pengetahuan Hutan Berbasis Masyarakatâ€.
Dikatakan, kebijakan pemerintah Orde Baru memberikan izin pengusahaan kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menandai babak baru sistim eksploitasi hutan alam tropika di luar Jawa yang dimulai secara menyeluruh pada tahun 1968. Hingga tahun 2000, jumlah HPH di Indonesia mencapai 600 unit dengan areal hutan produksi seluas 64 juta ha. Jumlah HPH tersebut setelah dikelompokkan ternyata hanya dimiliki oleh sekitar 20 konglomerat kehutanan. Artinya, setiap konglomerat menguasai sumberdaya hutan untuk dieksploitasi lebih dari 1 juta hektar.
Menurut suami Ir Hj Triwara Buddhi Satyarini MP, dengan semakin banyaknya jumlah unit HPH yang beroperasi di Indonesia, kata maka jumlah kayu yang ditebang juga semakin meningkat. Pada periode tahun 1960-1965 saja sebanyak 2,5 juta m3 log ditebang, tahun 1970 sebanyak 10 juta m3 log, dan tahun 1987 sebanyak 26 juta m3 log ditebang. Sementara, pada tahun 2007 penebangan kayu yang diperbolehkan dari hutan tropis sekitar 9 juta m3.
“Dengan gambaran seperti ini maka deforestasi dan degradasi hutan tidak dapat dihindarkan, karena pemerintah memerlukan devisa untuk pembangunan nasional,” tambah ayah lima anak , kakek satu cucu ini, Selasa (17/6) di ruang Balai Senat UGM.
Akibat kegiatan eksploitasi oleh HPH tersebut, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) UGM menjelaskan pada tahun 1985 terjadi laju kerusakan hutan (deforestasi) sebesar 600.000 ha-1.2 juta ha per tahun. Disebutkannya periode 1985-1997, tingkat deforestasi di Indonesia mencapai 1,7 juta ha per tahun.
Dengan kondisi seperti ini diramalkan pada tahun 2005 hutan dataran rendah non rawa akan hilang di Sumatra, dan di Kalimantan akan hilang pada tahun 2010. Menurut data dari Departemen Kehutanan, laju deforestasi nasional dalam 10 tahun terakhir mencapai rata-rata 1,6 juta ha per tahun.
“Penyebabnya, selain melanjutkan kerja-kerja eksploitasi HPH seperti pada rezim Orde Baru, juga ditambah maraknya penebangan haram (illegal logging) sejak tahun 1999, kebakaran hutan, dan perebutan kekuasaan atas lahan hutan antara perusahaan HPH dengan masyarakat adat. Pemerintah Orde Baru dinilai banyak pihak paling besar dan paling serius terhadap terjadinya deforestasi, ia telah gagal melaksanakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan,” jelas Ketua Pusat Kajian Hutan Rakyat Fakultas Kehutanan UGM ini.
Dibagian lain, pria kelahiran Talang Padang 10 April 1957 mengatakan saat kondisi sumberdaya hutan mendapat tekanan sosial dan politik yang tinggi, maka optimalisasi pengelolaan hutannya hanya dapat dicapai ketika fungsi tujuannya dirumuskan dengan mempertimbangkan keberadaan faktor input dan melakukan kalkulasi atas semua konstrain yang ada. Oleh karena itu sangat perlu melakukan penilaian (valuation) atas kondisi sumberdaya hutan, dan kemudian menciptakan regulasi yang sesuai dengan konstruksi optimal dengan kendala tertentu, misal kondisi sosial, budaya, politik, otonomi daerah dan administrasi tata kelola pemerintah yang baik. (Humas UGM).