Hingga saat ini, diare masih menjadi penyebab utama kematian pada anak-anak, terutama balita usia enam bulan hingga dua tahun. Penyakit diare merupakan penyebab kematian anak kedua setelah pneumonia.
“Penyakit itu selalu kejar-kejaran dengan radang paru-paru, menjadi penyebab kematian nomor satu dan nomor dua pada anak,” ungkap ahli kesehatan anak Prof dr Srisupar Yati Soenarto PhD SpAK, usai menyampaikan pidato pengukuhan guru besar pada Fakultas Kedokteran UGM, di Balai Senat UGM, Rabu (18/6).
Yang lebih membahayakan, imbuhnya, ada kecenderungan pemberian antibiotika pada pasien dan penderita diare secara sembarangan atau berlebihan, sehingga justru membuat resisten penyakit diare tersebut.
“Kebanyakan pasien atau orangtua yang memeriksakan anaknya seringkali kurang puas jika anaknya belum diberi antibiotika. Padahal, seringkali diare hanya cukup dilawan menggunakan oralit,” jelas Yati.
Sebuah penelitian di lima provinsi di Indonesia pada 2003 menunjukkan, penggunaan antibiotika untuk balita diare mencapai 85 persen. Sementara menurut catatan Depkes pada 1987, sebesar 88 persen. Sedangkan penelitian yang ia lakukan bersama mahasiswa pada 2007 menunjukkan, penggunaan antibiotika tidak rasional diare cair akut di rumah sakit non pendidikan hampir seratus persen, sedangkan di rumah sakit pendidikan hanya 18 persen.
Padahal, penggunaan tak rasional semacam itu juga dapat mengganggu keseimbangan mikroflora dalam usus sehingga menyebabkan ‘Antibiotic Associated Diarrhea (AAD).
“Berdasarkan penelitian, kejadian AAD pada pasien rawat inap sebesar 31 persen,” ungkap Yati kemudian.
Ketidakrasionalan terapi diare, tutur Yati lebih jauh, juga menjadi isu penting terkait hasil temuan etiologi diare pada anak. Peresepan jumlah obat berlebihan, polifarmasi, peresepan antibiotika dan obat injeksi tidak sesuai indikasi, peresepan antibiotika dalam dosis subterapeutik, peresepan antidiare, serta semua ketidakrasionalan lainnya pun menjadikan beban biaya penanganan yang tinggi. Antibiotika seharusnya hanya diberikan pada penderita diare akibat bakteri dan antiparasit pada parasit.
Kendati begitu penggunaan antidiare seperti kaolin-pektat (absorben) dan antimotilitas juga masih sering ditemukan, meski sebenarnya antidiare dapat memperburuk keadaan pasien dengan menutupi keadaan sesungguhnya. Absorben dapat menyebabkan pengeluaran kausa diare bersama feses sehingga memperluas penularan diare.
Di lain pihak, antimotilitas memang dapat mengurangi diare dengan menghambat kontraksi usus, tetapi juga menghambat pengeluaran toksin dan bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan usus pada anak-anak.
Sementara, resistensi bakteri merupakan risiko lain penggunaan antibiotika yang tidak rasional. Sejak 1950-an hingga sekarang dilaporkan banyak resistensi terhadap antibiotika.
“Penelitian di lima rumah sakit dan lima puskesmas pada 2005-2007 menunjukkan, Shigella sonnei dan Shigella flexneri resisten lebih dari 70 persen terhadap kotrimoksasol, tetrasiklin, dan penisilin. Sedangkan Salmonella lebih dari 70 persen resisten terhadap penisilin,†tandasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)