YOGYAKARTA-Pada 7-8 Mei lalu, Asean Summit ke-18 telah digelar di Jakarta. Sesuai dengan mandat piagam ASEAN, summit atau KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) adalah mekanisme pengambilan keputusan tertinggi dan dilaksanakan dua kali dalam satu tahun.
Menurut pengamat dari Institute of International Studies (IIS) Hubungan Internasional (HI) UGM, Muhammad Rum, S.I.P., I.M.A.S., meskipun dari KTT tersebut telah diambil 10 kesepakatan, masih ada beberapa kepentingan nasional dan milieu goals Indonesia yang belum tercapai. Salah satunya adalah persoalan perlindungan pekerja migran yang harus diperjuangkan. “Perlindungan terhadap pekerja migran harus diperjuangkan dengan posisi yang firm, tegas, dan lugas. Tidak boleh terombang-ambing dalam memperjuangkannya. Sayang, dalam KTT kemarin komitmen terhadap pekerja migran tidak dicantumkan,”kata Rum, Selasa (10/5).
Persoalan kedua, menyangkut kepentingan nasional untuk melindungi perdagangan bebas. Pemerintah seharusnya mampu menggunakan mekanisme kompromi dalam ASEAN untuk merenegosiasi beberapa detail dalam kesepakatan ASEAN-China FTA (ACFTA) untuk keperluan melindungi industri dalam negeri. Apalagi jika melihat dari beberapa studi, neraca perdagangan Indonesia terhadap China adalah defisit sehingga sejumlah besar industri dalam negeri akan menghadapi pukulan telak. “Dengan renegosiasi di tingkat kawasan, renegosiasi ACFTA di tingkat bilateral akan lebih bermakna dan menuai hasil yang lebih baik,” imbuhnya.
Di samping itu, terkait dengan isu demokrasi dan HAM di Myanmar, Rum berharap agar ASEAN jangan sampai hanya dijadikan justifikasi oleh rezim otoriter Myanmar untuk mengulur-ulur proses menuju demokrasi. Indonesia harus dapat menunjukkan posisinya yang tegas untuk mendesak upaya demokratisasi di Myanmar. “Terlebih tahun 2014 (setahun sebelum target ASEAN Community 2015), Myanmarlah yang bertindak sebagai Ketua ASEAN,” tutur Rum.
Senada dengan itu, pakar HI UGM, Drs. Riza Noer Arfani, M.A., mengatakan meskipun masih ada beberapa hal yang belum tercapai dalam KTT ASEAN lalu, sikap optimis tetap harus ditunjukkan oleh Indonesia. Posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN kali ini sangat strategis untuk kembali meningkatkan posisi diplomasinya, yakni dengan memimpin dan mengarahkan perkembangan ekonomi, politik, dan sosiokultural. Dengan demikian, besar ekspektasi publik dalam negeri terhadap berhasilnya pemerintah untuk mengantar ASEAN menuju integrasi yang lebih baik. “Progresif lebih baik di bidang keamanan-politik, ekonomi, dan sosiokultural, sembari meneguhkan kepentingan nasional dan milieu goals di kawasan,” kata Riza.
Riza juga juga berharap persoalan-persoalan pelik yang disisihkan demi menjaga harmonisasi (swept the problem under the carpet) sudah saatnya direvisi. Jika suatu permasalahan diabaikan, solusi komprehensif sampai kapan pun tidak akan tercapai, termasuk untuk menyelesaikan beberapa konflik yang masih ada, seperti antara Kamboja-Thailand. “Selain dengan cara formal, mediator dengan cara informal misalnya dulu zaman Pak Ali Alatas atau bisa juga mencoba Pak Jusuf Kalla,” ujar Riza. (Humas UGM/Satria AN)