Yogya, KU
Kesetaraan dan keadilan gender telah berhasil menjadi arus utama dalam dokumen kebijakan pendidikan, khususnya tertuang dalam program pemberdayaan perempuan sub bidang pendidikan, baik pada dokumen perencanaan strategis maupun dokumen perencanaan operasional.
Demikian simpulan Disertasi Dra Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si berjudul “Kualitas dan Dinamika Formulasi Kebijakan Pendidikan Berspektif Gender di Provinsi Jawa Tengah,†yang disampaikan pada saat ujian program doktor UGM bidang Administrasi Negara, Kamis (19/6) di Ruang Seminar Gedung Sekolah Pascasarjana UGM. Bertindak selaku promotor Prof. Dr. Warsito Utomo dan ko-promotor Prof. Dr. Muhadjir Darwin serta Dr. Samodra Wibawa, M.Sc.
Hasil penelitian Dra Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si, menyatakan komponen kunci bagi berhasilnya perspektif gender masuk dalam kebijakan pendidikan adalah pertama, kapasitas SDM yang paham tentang gender, memiliki sensitivitas gender dan memiliki otoritas terkait dengan pembangunan pendidikan.
“SDM tersebut tidak bekerja dalam ruang yang vakum, tetapi berinteraksi secara terus menerus dengan faktor-faktor dari luar dirinya, sehingga memasukkan gender sebagai arus utama pada kebijakan pendidikan,†katanya.
Kedua, capacity building dan advokasi pengarusutamaan gender yang dirancang dengan baik, sesuai kebutuhan daerah dan kemudiaan ditaati. “Apabila desain capacity building dan advokai dirancang dengan baik, sesuai kebutuhan daerah dan kemudian ditaati, maka integrasi kesetaraan dan keadilan gender dalam kebijakan pendidikan relatif mudah dilakukan,†paparnya.
Ketiga, Budaya organisasi yang mengedepankan visi dan misi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan geneder. Menurutnya, budaya organisasi yang telah responsif akan menumbuhkan kesadaran untuk memasukkan perspektif gender secara ekplisit pada dokumen kebijakan daerah yang memiliki dasar hukum yang kuat dengan adanya peraturan daerah (Perda).
“Dengan landasan hukum daerah yang kuat bisa menjadi mekanisme pemaksa bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah, sehingga gender benar-benar dapat menjadi arus utama pembangunan pendidikan,†kata doktor ke 957 dari UGM ini.
Keempat, jejaring serta kemitraan antara stakeholder pendidikan merupakan kekuatan utama dalam membangun aliansi strategis untuk melakukan perubahan kebijakan dari netral dan bias gender menjadi kebijakan responsif gender.
Diakui Dosen Ilmu Administrasi, Universitas Sebelas Maret Surakarta ini, memasukkan perspektif gender dalam kebijakan-kebijakan pendidikan, bukanlah pekerjaan yang mudah, karena berbenturan dengan berbagai kepentingan, nilai maupun keyakinan seseorang atau kelompok orang yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan pendidikan.
Padahal, imbuh wanita kelahiran purworejo ini, formulasi kebijakan pendidikan yang berlangsung secara dinamis, semestinya melibatkan multi stakeholder, dan berlangsung dalam suasana yang kadang-kadang memunculkan konflik karena perbedaan preferensi di antara stakeholders yang terlibat.
“Resolusi konflik yang dipilih adalah mengintegrasikan berbagai kepentingan yang ada, bersedia membantu serta membangun kompromi bersama,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)