Sejak tahun 1996, perusahaan terbuka di Indonesia diwajibkan untuk menyampaikan keterbukaan informasi kepada publik dengan mengikuti aturan yang dikeluarkan oleh Bapepam-LK. Namun, tidak sedikit perusahaan yang kurang transparan dalam penyediaan informasi.
Publikasi The McKinsey Quarterly 2004 melaporkan penegakan aturan tata kelola perusahaan Indonesia berada di urutan terbawah dari 10 negara berkembang di Asia. “Selain itu, Indonesia sudah populer dalam pengembangan literatur koneksi politis. Perusahaan dengan cara-cara tertentu mengusahakan kedekatan dengan politisi/pemerintah,†terang Lukas Purwoto, S.E., M.Si., staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Senin (16/5), saat ujian terbuka program doktor di Ruang Audio Visual Fakultas Eknomika Dan Bisnis (FEB) UGM.
Dalam disertasi berjudul ‘Pengaruh Koneksi Politis, Kepemilikan Pemerintah, dan Keburaman Laporan Keuangan terhadap Kesinkronan dan Risiko Crash Harga Saham’, Lukas menyebutkan kedekatan politis membuat perusahaan menjadi sulit untuk dapat terbuka dalam penyediaan informasi kepada pihak luar. Hal tersebut mengarahkan harga saham yang kurang informatif. Konsekuensinya, keberadaan ikatan politis akan membuat perusahaan menjadi lebih sulit dalam mewujudkan mekanisme tata kelola perusahaan secara eksternal dan internal yang berbasis pada harga saham.
Ditambahkan Lukas, perusahaan berperan besar terhadap terwujudnya tata kelola yang baik melalui penyediaan informasi spesifik perusahaan kepada pihak-pihak luar. Tingginya keterbukaan dan pengungkapan akan menurunkan biaya pencarian informasi yang berguna bagi para investor luar, analis sekuritas, dan partisipan lainnya di pasar saham.
Hasil penelitian Lukas terhadap sejumlah perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia selama periode 2004-2008 menunjukkan koneksi politik meningkatkan kesinkronan harga saham. Begitu juga dengan kepemilikan mayoritas pemerintah maupun keburaman laporan. Semakin buram pelaporan keuangan perusahaan, pengaruh positif dari koneksi politis maupun kepemilikan pemerintah terhadap kesinkronan harga saham cenderung menjadi semakin besar. “Hasil-hasil ini mengimplikasikan bahwa keberadaan koneksi politis, kepemilikan mayoritas pemerintah, serta penyajian laporan keuangan yang buram menghambat penyediaan informasi spesifik perusahaan di pasar saham sehingga pergerakan harga saham menjadi kurang mencerminkan kondisi dan kinerja perusahaan,†terangnya.
Menurut Lukas, motif pengaburan informasi oleh perusahaan berkoneksi politis ataupun milik pemerintah menjadi semakin menonjol terjadi ketika laporan keuangan disajikan secara buram atau tidak berkualitas. Hasil lain memperlihatkan koneksi politis dan kepemilikan pemerintah tidak meningkatkan risiko crash harga saham ketika laporan keuangan tidak buram atau berkualitas.
Hal tersebut mengimplikasikan tingginya kualitas pelaporan keuangan perusahaan dapat menjaga/menghindarkan dampak buruk terjadinya crash harga saham pada perusahaan berkoneksi politis maupun milik pemerintah. “Namun, saat laporan keuangan semakin tidak transparan, koneksi politis maupun kepemilikan pemerintah berpengaruh positif terhadap risiko crash harga saham,†jelas pria kelahiran Klaten, 6 Oktober 1969 ini. (Humas UGM/Ika)