YOGYAKARTA-Demokrasi ekonomi telah lama menjadi amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945. Namun, penerapannya saat ini masih jauh dari keinginan. Liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor ekonomi strategis telah semakin mengukuhkan ketimpangan struktur ekonomi Indonesia. Bukan saja karena segelintir elit pemilik korporasi yang kini menguasai mayoritas aset dan hasil produksi nasional, tetapi juga karena mereka sebagian besar berasal dari luar negeri.
Peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Awan Santosa, S.E., M.Sc., mengatakan corak keterjajahan ekonomi Indonesia ini setidaknya tampak dalam beberapa indikasi, seperti kondisi Indonesia yang masih menjadi pemasok bahan mentah, misalnya migas, batubara, emas, CPO, kakao, susu, dan berbagai produk mentah lain bagi pihak luar negeri. “Bahan mentah ini sebagian besar telah dikuasai perusahaan swasta luar negeri, seperti pada 85% kontrak minyak dan gas bumi,” tutur Awan dalam Seminar Bulanan Pustek dengan tema ‘Nasionalisme dan Kemandirian Ekonomi’, Kamis (19/5).
Selain itu, ekonomi Indonesia masih menjadi pasaran bagi pabrikan atau perusahaan luar negeri. Ia mencontohkan impor pangan Indonesia yang mencapai 110 triliun rupiah/tahun, berupa kedelai sebesar 2,2 juta ton/tahun. Awan menambahkan saat ini Indonesia juga masih menjadi pemasok tenaga kerja yang diupah murah bagi perusahaan dan pihak-pihak di luar negeri. Padahal, negara dengan jumlah penduduk lebih besar dari Indonesia, seperti India dan China, tidak mengirimkan tenaga kerja tidak terampilnya ke luar negeri. “Sayangnya, Indonesia juga masih mengalami ketergantungan yang parah dalam penyusunan UU yang terkait dengan pengelolaan ekonomi nasional, seperti UU BUMN, UU Ketenagalistrikan, dan lain-lain,” katanya.
Kondisi ini menandakan kemakmuran tidak lagi untuk masyarakat. Indonesia yang kaya dengan SDA, kimiskinan dan pengangguran masih saja bertambah. Agar masyarakat tidak lagi menjadi kuli di negeri sendiri, kedaulatan ekonomi yang menjadi ruh demokrasi ekonomi harus digelorakan kembali.
Di tempat sama, Direktur Eksekutif Mubyarto Institute, Dr.Fahmy Radhi, M.B.A., secara tegas mencontohkan bentuk penjajahan ekonomi yang masih terjadi, yakni dengan tergesernya pasar tradisional oleh pasar modern. Menjamurnya pasar modern yang bergerak di bidang bisnis ritel, seperti hypermarket, supermarket, dan minimarket, yang telah merambah ke perkampungan dan desa dikhawatirkan menjadi ancaman serius bagi keberadaan pasar tradisional, termasuk di Yogyakarta. “Pasar modern yang umumnya merupakan jaringan pemodal asing dengan sistem waralaba tidak mustahil lambat laun akan memusnahkan pasar tradisional,” ujar Fahmy.
Fahmy melihat proses peminggiran pasar tradisional berlangsung secara sistematis dengan melibatkan koalisi strategis antara pemilik modal dan oknum birokrasi. Modus operandi yang biasa dilakukan, antara lain, dengan ‘pengambilalihan’ secara paksa pasar tradisional diganti dengan pasar modern serta ‘pengepungan’ pasar tradisional dengan pendirian mall, dan minimarket waralaba.
Dalam kesempatan tersebut, dikatakan Fahmy, agar pasar tradisional tidak punah,perlu dilakukan intervensi melalui regulasi yang memberikan pembatasan wilayah bagi beroperasinya pasar modern, khususnya bagi mini market yang merupakan jaringan pemodal besar dengan sistem waralaba. Selain itu, pemerintah daerah harus berupaya menata ulang pasar tradisional, baik dengan memperbaiki penampilan maupun kenyamanannya. “Yang tidak boleh ditinggal adalah pemberdayaan bagi pedagang pasar tradisional untuk bisa menjadi pemasok bagi kebutuhan pasar modern,” pungkasnya. (Humas UGM/Satria AN)