YOGYAKARTA- Deradikalisasi terhadap kaum muda mendesak untuk dilakukan dalam konteks perkembangan saat ini. Deradikalisasi terutama diarahkan untuk mengerem fundamentalisme agar tidak berkembang menjadi politik kekerasan dan terorisme. Termasuk di sini adalah membentengi kaum muda dari berkelindannya pengaruh fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme.
Untuk itu, setidaknya dua pilihan etik politik penting ditekankan, yakni etik sosial dengan menekankan pentingnya dimensi sosial dalam praktik keagamaan dan mengakui perbedaan pandangan serta memberikan peluang politik berbagai kelompok untuk mengartikulasikan pandangan mereka dalam praktik politik demokratis. “Nah, di sini keterbukaan demokrasi merupakan rumah paling ideal untuk berkembangnya etik politik tersebut,” kata sosiolog UGM, Drs. Lambang Trijono, M.A., Jumat (20/5).
Lambang menjelaskan radikalisasi memang tengah mengintai kaum muda. Ia mencontohkan banyak pemuda menjadi korban dan sekaligus pelaku kekerasan, seperti dalam kasus NII dan terungkapnya kasus terorisme yang ternyata banyak melibatkan kaum muda. Hal ini terjadi karena tiadanya pembentukan subjek warga negara demokratis di kalangan kaum muda di tengah maraknya fundamentalisme politik agama. “Sejak awal demokratisasi, kelompok ini terus menghantui politik demokrasi, termasuk kini mengancam regenerasi demokrasi dengan melibatkan kaum muda dalam gerakan fundamentalisme politik,” imbuh Lambang.
Senada dengan Lambang, sosiolog UGM lainnya, Arie Sujito, M.Si., menambahkan kaum muda disasar karena dianggap tengah mengalami proses dan fase pencarian pikiran atau aliran baru, dengan kecenderungan ditanamkan sikap militansi. Ketika rasionalitas dan kesadaran kritis tidak bekerja di benak anak muda, doktrin yang menegasi realitas begitu mudah ditanamkan.
Arie mengatakan untuk mengatasi maraknya indoktrinasi pada mahasiswa tidak cukup sekadar mengejar atau menangkap para pencuci otak. Dalam jangka pendek, daya tekanan (stress) yang dialami kaum muda sebagai ‘korban’ keyakinan paham keras atas agama perlu diurai dan dipulihkan secara psikologis. “Jangka panjang perlu menumbuhkan dan membangun ruang pembelajar kritis dan rasional di kampus dan masyarakat, menyemai spirit solidaritas berkomunitas,” tutur Arie.
Terkait dengan kompleksnya persoalan kepemudaan tersebut, Pusat Kajian Kepemudaan, Youth Studies Centre Fisipol UGM, Sabtu (21/5), akan mengadakan Seminar Nasional ‘Paradoks Kepemudaan Indonesia: Masalah, Potensi, dan Agenda Aksi’ dengan pembicara kunci Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI, Andi Malarangeng. “Seminar ini nantinya juga akan dirangkai dengan peresmian Pusat Kajian Kepemudaan Fisipol,” terang Koordinator Pusat Kajian Kepemudaan Fsipol, M. Najib Azca, M.A., Ph.D.
Pusat Kajian Kepemudaan yang dimotori dosen dan peneliti di Jurusan Sosiologi UGM ini terdiri atas beberapa divisi, yakni penelitian dan publikasi, advokasi, pengembangan jaringan kepemudaan, serta pelatihan dan seminar. (Humas UGM/Satria AN)