YOGYAKARTA-Indonesia sebagai bangsa yang telah merdeka selama lebih dari 60 tahun, sampai saat ini belum mencapai prestasi yang memuaskan. Dalam masalah yang paling mendasar, seperti perekonomian dan pendidikan, Indonesia masih belum mampu bersaing dengan negara-negara tetangga. Human Development Index Indonesia tahun 2007 (0,697) adalah yang terendah di antara negara-negara ASEAN (rerata 0,8). “Posisi ini stabil sejak tahun 2002. Artinya, selama periode lima tahun belum ada perubahan yang berarti dalam ukuran kualitas hidup bangsa,” kata Drs. Bagus Riyono, M.A., dalam ujian doktor di Fakultas Psikologi UGM, Senin (23/5). Bagus mempertahankan disertasi yang berjudul ‘Menggapai “ANCHORS” Kekuatan Motivasional Dasar untuk Mengimbangi Ketakberdayaan Manusia’.
Jika dilihat lebih jauh, dalam indikator-indikator perekonomian, profil Indonesia lebih memprihatinkan lagi. Tingkat inflasi bangsa ini pada tahun 2007 tercatat 13%, sedangkan rata-rata semua negara ASEAN adalah 5,9%. Dalam hal tingkat inflasi ini, prestasi Indonesia lebih parah. Filipina yang berada pada posisi satu tingkat di atas Indonesia, inflasinya hanya 6,2%, sangat jauh selisihnya dengan Indonesia. “Waktu krisis mungkin bisa jadi alasan, tapi sebelum krisis pun inflasi Indonesia juga sudah sering mencapai dua digit,”imbuh dosen Fakultas Psikologi itu.
Dengan kondisi inilah, Bagus dalam disertasinya mencoba mengangkat sebuah teori agar dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari bangsa lain. Penelitian Bagus menyimpulkan dinamika fundamental dari motivational force adalah ‘In Search for Anchors’. Makna ‘in search’ adalah ungkapan yang menunjukkan sesuatu yang aktif dan terus-menerus, yang merupakan suatu proses pencarian. Komponen berikutnya ialah ‘Anchors’, yang merupakan suatu tujuan yang mengindikasikan kestabilan atau andalan bagi kestabilan. “Jadi makna in search for anchors adalah dinamika yang memiliki paradoks antara kebebasan yang dinamis, dengan kecenderungan untuk mencapai kestabilan,” tutur pria kelahiran Surakarta, 12 Juni 1963 ini.
Lebih jauh Bagus memaparkan paradoks antara kebebasan dan kestabilan terjadi karena di balik kebebasan manusia terdapat sisi lain yang tersembunyi berupa dinamika ‘risk avoidance’, ‘uncertainty tolerance’, dan ‘hope reliance’ (R.U.H). RUH ini nantinya bisa dijadikan sebagai sumber energi atau motivational force yang memacu diri seseorang untuk menggapai kestabilan (Anchors).
Manfaat dari penerapan teori RUH dapat dirasakan dalam berbagai konteks, seperti dalam hal parenting, pendidikan, dunia manajemen industri, dan pendidikan kebangsaan. Dalam ranah parenting, penerapan teori ini memberikan konfirmasi bahwa pola asuh yang serba boleh ataupun yang serba dilarang adalah praktik yang tidak efektif karena kedua-duanya akan menghambat “motivated behavior”. Parenting yang disarankan adalah yang selalu menumbuhkan kepercayaan terhadap masa depan pada anak, namun bukan berarti tanpa kesadaran tentang adanya hal-hal yang harus diwaspadai dalam kehidupannya kelak.
Sementara dalam pendidikan kebangsaan, disarankan untuk memperhatikan unsur “meaning”, “challenge”, dan “incentive” untuk membangun semangat patriotisme ke-Indonesia-an. Kita dapat belajar dari Amerika yang telah berhasil menanamkan kebanggaan nasionalnya dengan jargon “this is a free conuntry”. “Konsep ini bisa diterapkan di Indonesia misalnya dengan selalu mengangkat dan mendorong jargon bangsa yang pantang menyerah atau bangsa yang menjunjung tinggi kemerdekaan. Jargon ini setidaknya bisa lebih memacu motivasi rakyat Indonesia untuk maju dan berani berperan aktif bagi kemanusiaan,”urai Bagus.
Dalam ujian doktor yang dihadiri tim penguji Prof. Dr. Faturochman, M.A., Dr. Fathul Himam, M.Psi., M.A., Dr. Subandi, M.A., Prof. Dr. Saifuddin Azwar, M.A., Dr. IJK Sito Meiyanto, Dr. Achmad Sobirin, M.B.A., dan Kwartarini Wahyu Y., M.Med.Sc., Ph.D. tersebut,Bagus Riyono lulus dengan predikat sangat memuaskan. Dengan hasil itu, Bagus Riyono merupakan doktor yang ke-1392 lulus dari UGM. (Humas UGM/Satria AN)
.