YOGYAKARTA – Agama dan ilmu pengetahuan modern diharapkan dapat diintegralisasikan untuk menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat. Hal itu disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan modern semakin jauh dari nilai etika, humanisasi, emansipasi, dan transendentalisasi. Oleh karena itu, pengembangan pengajaran ilmu profetik melalui pengintegralisasi kekayaan ilmu manusia dengan wahyu mendesak untuk diterapkan.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi pakar dalam Sarasehan Ilmu Profetik, yang berlangsung di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (24/5). Hadir sebagai pembicara adalah mantan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Umar Anggoro Jenie, dan Dosen Filsafat UGM, Dr. Arqom Kuswanjono.
Jenie mengatakan diperlukan pengajaran agama yang kontekstual untuk mengantisipasi pengetahuan yang semakin menjauhkan dari nilai-nilai keagamaan. Diperlukan model pengajaran etika pengetahuan melalui ilmu profetik. “Sekarang ini di seluruh dunia sudah ada gerakan untuk mengintegralisasikan ilmu dan agama,†katanya.
Dalam ilmu pengetahuan modern, Jenie menjelaskan ada empat tahapan mendapatkan sains, yakni tahap observasi terhadap fenomena alam, pengukuran untuk mendapatkan data, analisis kritis, dan penyimpulan hasil analisis secara rasional. Jenie menambahkan Quran banyak memberikan isyarat-isyarat tentang fenomena alam.
Menurutnya, di era modern ini, penjelasan saintifik tentang fenomena alam bersesuaian dengan quraniyah. “Sangat perlu bagi ilmuwan Al Quran untuk menggunakan sains dalam melakukan penafsiran Kitabullah. Jelas tidak ada pertentangan antara ayat-ayat kauliyah (teks quraniyah tentang alam) dengan ayat-ayat kauniyah (temuan ilmiah tentang alam),†tuturnya.
Arqom Kuswanjono juga mempunyai pendapat yang sama. Menurutnya, perlu ada perubahan paradigma positivisme ilmu modern. Hal itu disebabkan ilmu-ilmu sosial saat ini mengalami kemandegan. Fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala. Padahal, sebenarnya tidak sebatas itu. Seharusnya ilmu sosial di samping menjelaskan, juga harus dapat memberi petunjuk transformasi, sesuai dengan cita-cita profetik, yakni humanisasi atau emansipasi, liberalisasi, dan transendentalisasi.
Arqom mengutip pendapat Kuntowijoyo yang membagi pengembangan agama Islam menjadi tiga, yakni Islam sebagai mitos, ideolog, dan ilmu. Cara beragama model mitos berkembang pada kelompok literalis yang melihat Quran secara tekstual apa adanya. “Al Quran dianggap sudah selesai dan tidak perlu ditafsirkan lagi, pendekatan kontekstual tidak diperlukan karena Al Quran sudah melampui zaman,†katanya.
Selanjutnya, Islam sebagai ideologi tampak dalam organisasi keislaman yang memiliki visi dan misi untuk mendirikan khilafah islamiyah. Mereka yang menganut paham ini beranggapan dengan dikuasainya bidang politik akan lebih mudah untuk memperjuangkan Islam dalam bidang-bidang lain. “Mereka menganggap kehidupan keislaman sekarang belum sempurna ketika belum bernegara Islam. Gerakan Hizbut Tahrir dan NII dapat dikatakan masuk kategori ini,†ujarnya.
Pengembangan Islam sebagai ilmu masih menjadi perjuangan yang belum menemukan format dan bentuk yang jelas. Padahal, Islam memiliki tugas untuk melakukan perubahan sosial yang sesuai dengan cita-cita profetiknya dalam menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter didasarkan pada iman. (Humas UGM/Gusti Grehenson)