YOGYAKARTA – Umar Kayam merupakan salah seorang tokoh kebudayaan dan dikenal sebagai sastrawan yang mampu secara konsisten berada dalam garis komitmennya untuk memperhatikan kehidupan ‘wong cilik’ (rakyat kecil). Hampir setiap karya novelnya mengangkat peristiwa di seputar kehidupan rakyat kecil, yang di dalam pandangannya penuh kegairahan.
Budayawan Prof. Dr. Soebakdi Soemanto, S.U. mengatakan novel ‘Para Priyayi’ yang terbit pertama kali tahun 1992 merupakan sebuah potret masyarakat menengah-bawah dalam tiga zaman yang disajikan dengan gaya yang hidup. “Novel Priyayi, untuk ukuran Indonesia termasuk novel yang laris dan banyak dibicarakan bukan hanya oleh ahli sastra, tetapi juga ahli ilmu-ilmu sosial seperti Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, Kuntowijoyo, Margono Atmolemaha,†kata Bakdi Soemanto dalam Diskusi Great Thinkers Umar Kayam, ‘Para Priyayi dan Kenikmatan’, di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (24/5).
Dengan membaca seluruh novel ini, tampak suasana kondisi Indonesia yang bergerak dari zaman penjajahan Belanda, Jepang, dan Republik. Persoalan politik yang memporak-porandakan masyarakat dilukiskan pula, misalnya pemeberontakan PKI dan Gerakan 30 September.
Bakdi menuturkan dalam novel ini dilukiskan ‘priyayi’, yang dimaksud bukan priyayi yang berdarah biru, tetapi kelas bawah yang berproses bergerak secara vertikal dan kemudian berada di kalangan elitis. Pada zaman penjajahan Belanda, mereka disebut ambtenaar. Pada zaman republik awal hingga sekaranag, yang disebut ambtenaar adalah pegawai negeri. “Novel ini menarik dan penting. Menarik karena isinya lengkap, lucu, sedih, menrenyuhkan, kisah percintaan, kekejaman penjajah, absurd, dan masih banyak lagi. Perubahan sosial yang menjadi roh dari plotting novel ini mampu mengubah mindset orang per orang,†kata Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
Pengamat sastra dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Dr. S. Bayu Wahyono, menuturkan gaya pengungkapan novel Umar Kayam sangat khas, unik, jenaka, dan membawa pembaca ke dalam dunia serba ‘mesam-mesem’. “Semua persoalan sosial yang berat sekalipun diangkatnya ke panggung wacana publik secara ringan dan ngguyoke. Pilihan kata dan idiom jawa yang pas untuk menggambarkan situasi sosial politik adalah kelebihannnya yang hingga sekarang belum ada yang bisa menirunya,†kata Bayu.
Bayu menyebutkan Umar Kayam dalam karya sastranya selalu mengangkat tema relasi priyayi-abangan. Pemikiran dari pembacaan abangan dijadikan lahan subur bagi refleksi sosial dan kulturalnya. “Kehidupan rakyat kecil senantiasa ditempatkan sebagai sumber inspirasi untuk menyindir, meneriaki, dan sekaligus ndunungke pada penggede,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)