Mantra atau doa sakral merupakan salah satu tradisi lisan yang dimiliki etnis nelayan Bajo Sumbawa, NTB. Bagi orang Bajo, doa sakral kesukuan yang diyakini mengandung magi dan kekuatan gaib untuk dimanfaatkan sebagai sarana “menyapa†Wujud Tertinggi dan alam sekelilingnya.
Etnis Bajo adalah kelompok nelayan pengembara yang tersebar di berbagai wilayah di kepulauan Indonesia. Namun pada masa kini sebagaimana masyarakat sudah mendiami beberapa desa khususnya desa petani. Meski telah memiliki desa petani, etnis Bajo di Sumbawa tetap memelihara tradisi mantra-mantra yang diikuti dari generasi ke generasi.
“Dengan mantra-mantra dijadikan jendela untuk melihat ke dalam batin sosial orang Bajo. Mereka menganggap mantra sebagai sesuatu yang sakral dan selalu dominan kemunculannya dalam kehidupan masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan, dan mantra ini diyakini dari generasi ke generasi,†ujar Syarifuddin, S.Pd M.Hum, dalam ujian promosi doktor bidang Ilmu Budaya, Jumat (20/6) di Ruang Seminar Gedung Sekolah Pascasarjana UGM.
Dihadapan penguji, promovendus mempertahankan hasil disertasinya yang berjudul “Mantra Nelayan Bajo: Cermin Pikiran Kolektif Orang Bajo di Sumbawaâ€. Bertindak selaku promotor Prof. Dr. I Dewa Putu Wijaba SU MA, dan ko-promotor Dr. Inyo Yos Fernandez serta Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra MA Mphil.
Penggunaan mantra bagi masyarakat Bajo, sebagai bentuk perwujudan penghormatan terhadap Wujud Tertinggi, makhluk halus, binatang dan benda-benda, tumbuh-tumbuhan, alat-alat, gejala alam, ruang dan waktu, rasa sedap dan tak sedap dan sebagainya.
“Dengan menggunakan mantra ataupun disertai dengan upacara ritual yang sudah menyatu dengan adat istiadat, begitu sangat mendominsai di kehidupannya sebagai nelayan,†katanya.
Kuatnya ketergantungan pada mantra ini, tandas peneliti di kantor bahjasa Provinsi di NTB ini, memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan belum banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat di sana. Oleh karena itu, mantra-mantra oleh masyarakat Bajo masih dijadikan sesuatu yang diterima dan dipakai sebagai pedoman sebagaiman diterima oleh masyarakat leluhur terdahulu. Akibatnya, cara-cara teknologi yang digunakan saat ini tidak banyak mengalami perubahan. Begitu juga dengan pelaksanaan ritual persembahan merupakan perpaduan antara ajaran islam sebagai agamanya dan kepercayaan tradisionalnya masih terasa begitu kuat.
“Belum adanya pemahaman tentang ajaran islam secara mendalam menyebabkan perilaku persembahan yang dilakukan untuk makhluk halus yang ada di sekitarnya sering kali marak dilakukan. Padahal perilaku ini jelas bertentangan denga ajaran agama yang diyakininya,†jelas suami Eliana Widyastuti, SE ini.
Menurut Syarifuddin, cara berpikir lama yang begitu menguat, dan ditambah dengan cara pandang yang masih bersifat tradisional menjadikan mantra tetap menjadi tradisi lisan yang dipelihara dari turun-temurun. (Humas UGM/Gusti Grehenson)