YOGYAKARTA-Pakar administrasi publik UGM, Prof. Dr. Agus Dwiyanto, M.P.A., menilai reformasi birokrasi yang dijalankan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah gagal sebelum lahir. Penilaian Agus Dwiyanto ini didasarkan atas beberapa hal, khususnya dengan melihat semakin kronis dan kompleksnya persoalan birokrasi di Indonesia saat ini. Kompleksitas dan kegagalan reformasi birokrasi tersebut menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah terus menurun.
“Bisa diibaratkan reformasi birokrasi yang digulirkan Presiden SBY ini sudah gagal dahulu sebelum lahir. Obat yang diberikan untuk mengobati penyakit kronis di birokrasi hanya bermanfaat sementara, seperti sebuah analgesik,” kata Agus dalam bedah bukunya yang berjudul ‘Mengembalikan Kepercayaan Publik melalui Reformasi Birokrasi’. Acara dilaksanakan di Magister Administrasi Publik (MAP) UGM, Sabtu (28/5).
Agus mengibaratkan birokrasi di Indonesia saat ini tengah terkena sebuah penyakit kronis. Sayangnya, obat atau reformasi yang dijalankan untuk mengatasi hanya bersifat sementara. Ia juga mempertanyakan kinerja Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) sebagai ujung tombak reformasi birokrasi. Menurut Agus, seharusnya Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara direformasi terlebih dahulu sebelum melakukan reformasi. “Kementerian PAN seharusnya direformasi dahulu sebelumn melakukan reformasi birokrasi, tetapi justru ini belum direformasi sudah diberi mandat melakukan reformasi,” urainya.
Dalam kesempatan itu, Agus juga sempat menyinggung rusaknya birokrasi di Indonesia yang menerapkan konsep birokrasi Weberian. Penerapan konsep tersebut tidak dikorelasikan dengan struktur birokrasi di Indonesia. Selain persoalan korupsi dan perekrutan PNS yang masih diwarnai dengan ketidakjelasan aturan dan permainan oknum tertentu di pemerintah diungkap pula dalam bedah buku tersebut.
Agus mengusulkan adanya konsep akuntabilitas publik tanggung-renteng sebagai salah satu model birokrasi dengan memanfaatkan kearifan lokal. Dengan model tersebut, ia yakin dalam melakukan reformasi birokrasi akan ada rasa tanggung jawab bersama antarpelaku di dalam kelompoknya. “Dengan transparansi dan kepedulian tersebut bisa mulai dibangun model birokrasi dengan mengoptimalkan kearifan lokal yang dimiliki,” tutur dosen MAP UGM ini.
Sementara itu, praktisi Lembaga Administrasi Negara (LAN) Makasar, Prof. Dr. Amir Imaruddin, M.D.A., selaku pembahas buku mendukung apa yang ditegaskan Agus Dwiyanto. Untuk mereformasi birokrasi di Indonesia perlu dilakukan secara komprehensif dan radikal. Dengan langkah itu diyakini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan kembali meningkat. “Tapi yang perlu diingat yaitu bukan hanya birokrasi saja, tetapi juga lingkungan di sekitar birokrasi itu, baik yang menyangkut persoalan politik hingga ekonomi,” kata Amir.
Di sisi lain, Prof. Dr. Kacung Maridjan dari Universitas Airlangga juga menyayangkan kepedulian masyarakat yang masih minim terhadap reformasi birokrasi ini. Contohnya, masyarakat masih sering memberikan uang pelicin kepada aparat pemerintah agar mendapat kemudahan ketika mengurus surat-surat. Kacung mengatakan reformasi birokrasi di Indonesia tidak akan berhasil tanpa disertai dengan adanya reformasi politik. “Keduanya tidak bisa terpisahkan. Sayang, misalnya, janji-janji politik diumbar, tidak ada kemampuan birokrasi untuk meneruskan dan mewujudkannya kepada masyarakat,” kata Kacung.
Kacung juga sepakat agar reformasi birokrasi di Indonesia segera terwujud, kepercayaan (trust) harus dibangun, baik di masyarakat maupun pemerintahan. Selama kepercayaan yang dibangun,sedangkan nilai kejujuran tidak dibangun, reformasi birokrasi nantinya juga akan sulit terwujud (Humas UGM/Satria AN)
.