Yogya, KU
Sedikitnya 119 sumber mata air di daerah Kabupaten Kulon Progo dinyatakan dalam kondisi kritis dan terancam akan hilang. Hal ini diakibatkan makin berkurangnya jumlah areal hutan dan berubah fungsi lahan yang ada di sekitar sumber mata air tersebut.
Hal ini diakui peneliti Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai ((BPDAS) Yogyakarta, Ir Ayu Dewi Utari MSi, dalam kegiatan penyuluhan “Penyelamatan dan Pemanfaatan Air Bagi Kepentingan Masyarakat Banjaroya,†di Balai Desa Banjaroya, Sabtu (21/6). Kegiatan penyuluhan yang difasilitasi oleh KKN PPM UGM unit Banjarharjo ini menghadirkan dua pembicara lainnya Ir Budi Kamulyan MEng, Mahasiswa Farmasi UGM Hendri Nurhidayah.
Menurut Dewi, dosen Fakultas Kehutanan UGM ini, tingkat kekritisan sumber mata air ini disebabkan makin hilangnya tanaman keras dalam radius 200 meter dari sumber mata air tersebut.
“Tanaman keras berfungsi sebagai vegetasi penutup tanah yang berperan dalam menyimpan air. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya tanaman ini menyababkan kurangnya vegetasi pada suatu wilayah sehingga berdampak pada bencana banjir, kelangkaan mata air dan sungai,â€jelasnya.
Di Kulon Progo, tandas Dewi, ketergantungan masyarakat sekitar kepada sumber mata air ini cukup tinggi yang biasa digunakan memenuhi kebutuhan rumah tangga dan pertanian.
Disebutkan oleh Dewi, dari 119 sumber mata air ini, termasuk tiga diantaranya, sumber mata air Semawung, Tonogoro dan Semagung yang berada di lokasi Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo.
Hal senada juga diungkapkan Ir Budi Kamulyan Meng, menurut dosen teknik sipil UGM ini berkuranngnya sumber mata air ini dikarenakan menurunnya muka air tanah.
“Hasil penelitian dari teknik geodesi UGM, menyusutnya muka air tanah di Yogyakarta berkisar 0,5 meter per tahuan. Sedangkan, di Sleman, tingkat penyusustan sekitar 20-30 cm per tahun,†katanya.
Budi mengusulkan teknik yang dilakukan untuk konservasi sumber daya alam dengan cara membuat tanah resapan, sumur resapan, biopori, kolam tampungan dan sebagainya.
“Teknik ini sangat bagus untuk menampung air hujan di dalam tanah. Sedikitnya 80 persen air hujan akan tersimpan di dalam tanah. Sebaliknya dengan dibuatnya sistem plaster pada jalan dan halaman, maka hanya 10 persen air yang tertampung, sisanya akan masuk ke sungai dan kembali ke laut,†tegasnya.
Hendri Nurhidayah, salah satu dari tim survei mahasiswa KKN PPM UGM yang melakukan survei uji fisik dan uji biologis mengaku dari 15 sampel sumber mata air di desa Banjar Harjo, sekitar 14 sumber mata air dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehatan untuk dikonsumsi.
“Hanya sumber mata air Potronalan yang memenuhi syarat, sementara sisanya tidak, karena mengandung jumlah bakteri E. Coli melebihi batas ambang kewaspadaan,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)