
Setelah kembali ke tanah air, banyak TKI memiliki keinginan kuat untuk menjadi wirausaha. Sayang, keinginan tersebut menghadapi banyak kendala. Demikian ungkapan TKI Purna dari Korea asal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta saat berlangsung seminar bertema ‘Mengembangkan Kewirausahaan dan Jiwa Wirausaha di Kalangan TKI Purna di Korea se-DIY’ belum lama ini di Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM. Salah satunya adalah pengalaman Imam Nahrawi, seorang mantan TKI dari Korea Selatan, yang kini sukses menjadi pengusaha di Lampung.
Saat menjadi pembicara seminar, Imam mengaku dari hasil kerja kerasnya selama dua tahun menjadi buruh pabrik di Korea Selatan, ia memberanikan diri mendirikan toko material dan bangunan. Dari modal yang dikumpulkan, ia pun berinvestasi di perkebunan karet dan dua unit pabrik genting. “Saya juga tergerak untuk penggemukan kambing dan pembesaran ikan air tawar,” katanya.
Bermodal sekitar 100 juta rupiah yang diperolehnya saat menekuni pekerjaan “3D†(dirty-difficult-dangerous) yang tidak disukai warga Korea Selatan, aset Imam Nahrawi terus bertambah. Kini dari perputaran usahanya, aset meningkat menjadi 2,1 miliar rupiah. Semua usaha itu ia rintis bersama dengan istri sejak masih bekerja di Korea Selatan. Ia memulai dari usaha yang kecil-kecil.
Kini, bersama dengan teman TKI dari Korea, dirintisnya usaha ekspedisi dan properti. Sukses Imam terus ditularkan dengan berbagi informasi dan mengembangkan wawasan usaha. “Saya di Lampung terus-menerus berusaha memotivasi dan melakukan pendampingan usaha kepada TKI Purna. Tidak hanya itu, saya juga berusaha memfasilitasi mereka untuk membentuk kelompok-kelompok usaha, seperti kelompok usaha sapi dan kambing serta kelompok ‘arisan semen’ sebagai modal usaha mantan TKI dari Korea,” katanya.
Dalam seminar yang diselenggarakan PSAP UGM dan Asosiasi TKI Purna “PURNA JAYAâ€, yang merupakan organisasi TKI Purna asal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Imam mengatakan banyak kendala yang dihadapi TKI Purna saat berkeinginan menjadi wirausaha. Beberapa di antaranya adalah perubahan gaya hidup yang makin konsumtif, kurang memanfaatkan waktu di luar negeri untuk belajar menjadi wirausaha, ketiadaan konsep yang jelas untuk mengelola uang hasil jerih payah, dan lupa akan niat mengumpulkan modal saat menjadi TKI.
Imam pun tidak menampik kenyataan bahwa banyak dijumpai orang tua dan anggota keluarga TKI yang mengeksploitasi TKI dengan menjadikan mereka sebagai “ATM†yang dapat dicairkan setiap saat. Dukungan seluruh anggota keluarga TKI dalam mengelola remitan menjadi sangat krusial sehingga pada akhirnya dapat digunakan sebagai modal usaha. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi pemerintah kepada keluarga TKI untuk memberikan pelatihan atau pendidikan ekonomi rumah tangga. “Adanya Asosiasi TKI Purna dan kelompok-kelompok mantan TKI tentu sangat bermanfaat karena keberadaan organisasi semacam ini sebagai forum untuk sharing pengelolaan remitan dan kerja sama wirausaha,” tandas Imam.
Ratih Pratiwi Anwar, peneliti PSAP UGM yang berfokus pada riset TKI di Korea Selatan, menyambut baik kegiatan ini. Ia berharap dapat muncul kegiatan tindak lanjut dari penelitian mengenai Transformasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya dari Pengiriman TKI ke Korea Selatan di Provinsi DIY. Diharapkan PSAP UGM akan terus berupaya memfasilitasi Asosiasi TKI Purna dari Korea se-DIY dalam berbagi informasi antaranggota.
Selain itu, akan dibantu juga untuk mengakses program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat di instansi pemerintah terkait dan menjalin jaringan dengan paguyuban-paguyuban TKI dan lembaga-lembaga yang perhatian pada masalah TKI Purna. “Tentu saja semua kegiatan asosiasi ini dapat dilihat di facebook TKI Purna Korea se-DIY,” tutur Ratih. (Humas UGM/ Agung)