Eropanisasi bagi sejumlah negara menjadi pintu pembuka berbagai bentuk kemajuan. Eropanisasi bahkan mampu menyelamatkan agenda-agenda domestik, khususnya terkait dengan pembangunan sosial, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Namun, bagi sejumlah negara lain, eropanisasi merupakan proses yang dapat mengurangi identitas dan bahkan memberikan beban tambahan bagi politik domestik. “Eropanisasi sendiri memiliki banyak interpretasi, mulai dari yang bersifat kelembagaan sampai dengan pembentukan kultur baru yang menjadi identitas bersama Eropa,†kata Wawan Mas`udi, S.I.P., M.P.A., staf pengajar Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Selasa (7/6) di Fisipol UGM.
Dalam diskusi bertajuk ‘Neoliberalism and Globalization; Scandinavia Experiences’ yang digelar oleh Scnadinavia Community/Scanty, Wawan menyebutkan konsolidasi sosial, ekonomi, dan politik dalam bentuk European Union (EU) juga tak luput berimplikasi terhadap kawasan Skandinavia (Swedia, Denmark, Norwegia).
Dampak eropanisasi yang paling kuat di kawasan itu ialah dalam bidang sosial dan ekonomi. Free movement of goods & labour yang menjadi basis kerja sama telah menjadikan kawasan ini mengalami proses pluralisasi yang semakin cepat, khususnya saat EU mengalam perluasan ke Eropa Timur. “Dalam bidang ekonomi, kebutuhan melakukan proteksi terhadap kekuatan ekonomi dan domestik menjadi isu sangat penting. Gagalnya Eurozone referendum di Denmark dan Swedia serta masih enggannya Skandinavia untuk bergabung dengan EU menjadi indikasi yang sangat jelas akan kebutuhan kawasan ini untuk melakukan proteksi atau setidaknya pembatasan diri terhadap integrasi,†terangnya.
Eropanisasi juga membawa dampak yang menguntungkan bagi Skandinavia. Dalam bidang sosial, keterlibatan Skandinavia dalam sistem Schengen, asuransi Eropa, dan pendidikan telah menjadikan hubungan antarmanusia semakin dalam. Selain itu, Skandinavia juga sanggup untuk menjual comparative advantages-nya secara lebih luas dan bebas. “Eropanisasi merupakan kekuatan eksternal dan Skandinavia memiliki cara sendiri untuk berkoneksi dengan rezim supranasional yang sangat kuat ini. Dalam situasi seperti ini, Skandinavia berada dalam jalur yang dibangun oleh Moravsick di mana bentuk-bentuk integrasi akan sangat ditentukan oleh seberapa kuat kepentingan domestik diuntungkan oleh proses tersebut. Bagi Skandinavia, eropanisasi adalah instrumen untuk memperkokoh rezim sosial demokrasi yang menjadi identitas kawasan ini,†jelasnya.
Sementara itu, Nanang Indra Kurniawan, S.I.P., M.P.A., yang juga staf Pengajar Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, menyebutkan negara kesejahteraan di Skandinavia relatif kuat dalam menghadapi tekanan-tekanan globalisasi. Terlembaganya institusi-institusi demokrasi sosial telah memediasi dan menerjemahkan ulang tekanan-tekanan globalisasi, yang selanjutnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan domestik. “Negara masih memiliki kapasitas yang kuat untuk menjalankan dan membiayai program-program kesejahteraan untuk menjaga kesetaraan dan keamanan ekonomi di antara warga negara. Sebagai akibatnya, hingga hari ini negara-negara Skandinavia masih termasuk dalam negara yang memiliki tingkat kesejahteraan paling tinggi di dunia,†tambahnya.
Ditambahkan Nanang, meskipun transformasi neoliberal mulai terjadi di Skandinavia dan mempengaruhi kesejahteraan di kawasan tersebut, hal itu tidak terjadi secara radikal. Dalam banyak hal, justru adaptasi-adaptasi neoliberalisme di Skandinavia berhasil merestukturisasi beberapa aspek negara kesejahteraan dan memperkuat basis Nordic/Scandinavian/Social Democracy Model. (Humas UGM/Ika)