Dengan segala potensi dan peluang yang dimiliki, Universitas Gadjah Mada UGM) terus melakukan inovasi pembelajaran. Inovasi untuk para mahasiswa dan peneliti ini diharapkan dapat mendukung tekad UGM dalam mewujudkan World Class Research University. Dengan berbagai upaya yang dilakukan, para dosen dan insan peneliti di UGM terus didorong untuk proaktif dalam mengembangkan riset, terkait dengan materi, lokasi, dan mitra kerja sama.
Untuk mengembangkan Student Centered Learning (SCL), telah dicanangkan riset yang melibatkan mahasiswa dengan menggunakan metode Pembelajaran Berbasis Riset (PBR)/Research Based Learning. Menurut Bambang Suwignyo, Ph.D., Manajer Perencanaan dan Pengembangan LPPM, metode ini mengedepankan pembelajaran yang bertujuan untuk membangun pemahaman mahasiswa.
PBR dilakukan dengan mengembangkan prior-knowledge, yakni pembelajaran sebagai proses interaksi sosial dan bermakna melalui pengalaman nyata. “Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak (NMT), Fakultas Peternakan UGM, pun terpanggil untuk mengembangkan metode PBR ini dengan melakukan penelitian field laboratory atau laboratorium alam,” ujar Bambang Suwignyo di kampus UGM, Selasa (14/6).
Sebagai langkah nyata dalam rangka mengembangkan laboratorium alam, Bagian NMT menjalin kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) YAPERINDO menggarap lahan pasir pantai selatan Kulon Progo. Tepat di area Pantai Congot, Desa Jangkaran, Temon, Kulon Progo, ini dibangun field laboratory dengan konsep integrated farming system (agroforestri). “Di samping mengupayakan lahan pasir sebagai lokasi penelitian lapangan (on farm), di areal ini juga dimanfaatkan untuk praktikum lapangan bagi mahasiswa. Upaya ini sebenarnya telah dirintis sejak tahun 2005. Ketika itu, saya menjabat Ketua Program Pengembangan Jurusan (SP4) bersama dengan Prof. Dr. Ir. Ali Agus, D.E.A., D.A.A., Prof. Dr. Soemitro Padmowijoto, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Ristianto Utomo, dan Ir. Bambang Suhartanto, D.E.A.,” tutur Bambang.
Melalui praktikum lapangan ini, mahasiswa diharapkan dapat lebih dekat mengenal objek dan subjek penelitian. Beberapa hal yang terkait dengan subjek dan objek penelitian selama ini hanya dipelajari melalui studi pustaka dan perkuliahan. Pembelajaran secara on farm di laboratorium alam akan mendekatkan mahasiswa pada objek pengamatan dan mendorong mereka memahami konsep learning by doing. “Interaksi mahasiswa dengan alam dan petani setempat diharapkan juga akan mampu memperkuat pengenalan mereka terhadap kearifan lokal, sekaligus mampu membaca situasi (character building) sehingga menjadi bekal bagi mereka jika kelak mereka menjadi pemimpin bangsa,” tutur Sekretaris Bagian NMT.
Bagi para dosen, keberadaan field laboratory dengan berbagai fasilitasnya juga dapat dimanfaatkan dalam melakukan riset on farm. Bagi seorang pendidik, keberadaan field laboratory akan memperkaya khasanah keilmuan, misi pengabdian atas ilmu dan teknologi kepada masyarakat. Melalui media ini, berbagai riset yang dihasilkan diharapkan mampu untuk menyentuh dan menjawab permasalahan masyarakat.
Bambang menjelaskan untuk mengembangkan field laboratory tidak diperlukan biaya yang tinggi sebab mendapat dukungan dana dari lembaga mitra. Hingga kini tercatat sebanyak 12 mahasiswa S-1 dengan topik mayor hijauan pastura telah berhasil lulus sebagai sarjana peternakan dengan memanfaatkan keberadaan Field Laboratory Congot.
Oleh karena itu, Bambang berharap aktivitas riset di Field Laboratory Congot akan terus berjalan. Dengan menggandeng Program Recovery Pascaerupsi Merapi dan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) DIY, Bagian NMT Fakultas Peternakan UGM berencana untuk mengembangkan field laboratory di Tlogolele, Boyolali, dengan fokus objek materi hewan kesayangan (ruminansia kecil). “Tim dari Laboratorium Hijauan Makanan Ternak dan Pastura, Bagian NMT Fakultas Peternakan UGM kini tengah mengembangkan penelitian dengan topik Jagung Tipe Brown Midrib Resistance,” pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)