Sesungguhnya ribuan tahun lalu material komposit telah dipergunakan dengan memanfaatkannya serat alam sebagai penguat. Dinding bangunan tua di Mesir yang telah berumur lebih dari 3000 tahun ternyata terbuat dari tanah liat yang diperkuat jerami. Namun pada perkembangan selanjutnya, serat alam ditinggalkan oleh penggunanya karena dianggap tidak layak secara teknis, dan telah ditemukannya material baru yang lebih tangguh dan kuat, yaitu berbagai macam logam dan panduannya.
“Harus diakui bahwa logam dan panduannya mempunyai peran yang sangat besar terhadap perkembangan berbagai industri hingga saat ini. Namun kelemahannya, ia merupakan massa jenis yang tinggi, sehingga kekuatan dan kekakuan spesifiknya relatif rendah,” papar Prof Ir Jamasri PhD, Rabu (25/6) di ruang Balai Senat UGM.
Dosen Jurusan Teknik Mesin FT UGM mengatakan hal itu, saat dirinya dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik UGM. Kepala Bidang Pengembangan dan Layanan Riset Industri LPPM UGM ini mengucap pidato “Prospek Pengembangan Komposit Serat Alam di Indonesia”.
Dikatakan, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi plastik, sejak tahun 1990-an teknologi komposit bermatrik polimer mengalami perkembangan yang cukup pesat pula dan pertumbuhan itu mencapai sekitar 3,8% pertahun. Bahkan pada dasawarsa terakhir, kecenderungan perkembangan material komposit bergeser pada penggunaan kembali serat alam (back to nature) sebagai pengganti serat sintetik.
“Hal ini didukung oleh beberapa keunggulan yang dimiliki oleh serat alam, diantaranya adalah massa jenisnya yang rendah, terbaharukan, produksi memerlukan energi yang rendah, proses lebih ramah, serta mempunyai sifat insulasi panas dan akustik yang baik,” ujar Direktur Eksekutif PHK A3 Program studi Teknik Mesin FT UGM 2005-2006 ini.
Penggunaan kembali serat alam, kata Prof Jamasri, dipicu oleh adanya regulasi tentang persyaratan habis pakai (end of life) produk komponen otomotif bagi negara-negara Uni Eropa dan sebagian Asia. Bahan sejak tahun 2006, negara-negara Uni Eropa telah mendaur ulang 80% komponen otomotif, dan akan meningkat menjadi 85% pada tahun 2015. Di Asia khususnya di Jepang, sekitar 88% komponen otomotif telah di daur ulang pada tahun 2005 dan akan meningkat pada tahun 2015 menjadi 95%.
“Oleh karena itu, sebagian besar pabrikan otomotif sedang mengevaluasi dampak lingkungan terhadap umur pakai kendaraan secara keseluruhan mulai dari bahan baku, proses manufaktur sampai pada proses pembuangannya ketika sudah tua,” jelas suami Helena SE, ayah tiga anak ini.
Permintaan industri terhadap serat alam telah meningkat secara signifikan pada beberapa tahun terakhir. Saat ini, komposit serat alam telah menjadi pilihan utama pada beberapa aplikasi, yang mana sekitar tahun 1990-an tidak banyak industri tertarik.
Meski begitu, sampai saat ini komposit serat alam belum banyak digunakan di berbagai industri di Indonesia. Industri yang sudah memanfaatkannya, misalnya PT INKA Madiun yang telah mengaplikasikan komposit baik serat sintetik maupun serat alam sebagai komponen gerbang kereta api, substitusi panel baja dengan panel komposit itu mencapai 60%.
Menurut Prof Jamasri, upaya mensubstitusi penggunaan penguat serat dan core sintetik dengan material alam telah dilakukan. Prototipe produk meja kereta eksekutif (K-1) misalnya, telah berhasil dibuat dari komposit berpenguat limbah serat buah sawit. Substitusi meja K-1 tersebut mampu menurunkan biaya bahan baku hingga menjadi 37% dari meja K-1 yang dibuat material komposit sintetik.
“Dengan demikian komposit serat alam memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan di Indonesia. Karena mayoritas tanaman penghasil serat alam dapat dibudidayakan di negeri ini misalnya serat kenaf, rami, rosella dan nanas-nanasan. Pengembangan teknologi komposit berpenguat serat alam sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk menggali potensi local genius yang ada. Hal ini tentu akan mampu meningkatkan pemberdayaan sumber daya alam lokal yang dapat diperbaharui,” tandas Prof Jamasri, pria kelahiran Kudus 4 Juli 1961 ini. (Humas UGM)