YOGYAKARTA-Bangsa Indonesia menghadapi persoalan besar dalam menghadapi proses globalisasi karena telah kehilangan karakter budaya bangsa, yaitu Pancasila, sebagai modal sosial yang berperan strategis dalam mempertahankan kesatuan bangsa dan negara. Sementara itu, semakin menjauhnya Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia juga menunjukkan adanya kegagalan dalam proses pembudayaan (enkulturalisasi) Pancasila kepada generasi muda.
Hal ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) Pembudayaan Pancasila dalam rangka Pembangunan Karakter Bangsa, yang diadakan oleh Pusat Studi Pancasila di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH), Senin (20/6). “FGD ini juga dilakukan sebagai salah satu upaya menyusun grand design pembudayaan Pancasila sebagai generasi muda dalam era informatika,” kata Ketua Panitia FGD, Dr. Daud Aris Tanudirjo, M.A.
Daud menyebutkan yang ingin dicapai dalam FGD ini ialah mengetahui pembudayaan di masa lalu (evaluasi) dan masa mendatang (untuk membuat semacam model). Masing-masing aspek yang dikupas meliputi materi/pesan (nilai-nilai Pancasila), media, dan lingkungan, khususnya bagi generasi muda dalam era informatika. “Maka dalam FGD ini kita hadirkan berbagai narasumber dari beberapa kalangan seperti dosen, mahasiswa, pemerhati seni tradisional, pelaku media, dan lain-lain,” imbuh dosen Arkeologi UGM ini.
Beberapa poin penting yang muncul dalam FGD, antara lain, optimis semua media dapat digunakan untuk sosialisasi dan pembudayaan Pancasila kepada generasi muda. Aktifis Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta, Darmanto, mengatakan generasi muda saat ini sudah semakin maju dan terbuka dalam menyikapi sajian yang disajikan banyak media. Melalui media, baik cetak maupun elektronik, hingga kesenian tradisional, pembudayaan Pancasila kepada generasi muda dapat dilakukan. “Tidak ada media yang paling tepat, semuanya bisa dan mempunyai peluang dimanfaatkan dengan kondisi masyarakat yang heterogen seperti saat ini,” ujar Darmanto.
Senada dengan itu, wartawan senior yang juga pengelola Jogja TV, Oka Kusumayudha, menilai adanya nilai positif dari generasi muda terhadap beberapa tayangan tradisional yang disajikan, seperti campursari, berita bahasa Jawa, dan wayang kulit. “Hasil sebuah survei justru peringkatnya cukup tinggi generasi muda yang menonton tayangan tradisional tersebut. Nah, di situlah kita bisa memasukan nilai-nilai Pancasila tersebut. Jadi, tinggal tergantung isinya saja yang kita pikirkan,” kata Oka.
Pemerhati budaya yang biasa mengisi acara di RRI Yogyakarta, Gatot Marsono, menambahkan Pancasila saat ini baru terbangun secara kuantitatif dan belum kualitatif. Gatot justru berharap media massa tetap profesional dan tidak ikut arus seperti yang dilakukan oleh beberapa oknum di bangku eksekutif, yudikatif, dan legislatif dengan korupsinya. “Di sinilah diperlukan sutradara media yang andal mengemas isi acara bagus secara kuantitatif, kualitatif, menjunjung etika, dan humanis. Jangan ikut-ikutan arus seperti yang dilakukan koruptor di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif,” kata Gatot. (Humas UGM/Satria AN)