Manfaat jamur begitu besar dan luas, khususnya untuk industri pengolahan hasil pertanian. Meski begitu, perjalanan industri yang menggunakan jamur secara komersial sebagian besar masih belum memuaskan. Penyebabnya ialah rendahnya produktivitas dan masalah-masalah teknis pemanfaatan jamur di bidang industri bioteknologi. Sebanyak 70% biaya produksi digunakan untuk bahan mentah, demikian pula untuk material handling yang menyedot biaya produksi cukup besar. “Harga jual produk fermentasi pangan oleh jamur ini pun biasanya tidak begitu tinggi sehingga menjadikan Break Even Point (BEP) begitu tinggi. Dari beberapa penelusuran yang dilakukan diketahui bahwa besaran BEP berkisar antara 65-70%,” kata Prof. Dr. Ir. Sardjono, M.S. di Balai Senat, Selasa (21/6), saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM.
Oleh karena itu, untuk mendapat keuntungan yang besar, maka kapasitas industri harus besar. Kapasitas pabrik yang besar ini tentu memerlukan proses handling dan pengendalian yang tidak mudah. Persolaan inilah yang menjadi salah satu penyebab beberapa industri mikroprotein atau protein sel tunggal tidak mampu bertahan hidup. Sementara itu, pengendalian produksi enzim utama dengan pengendalian materi genetik dapat memberi peluang peningkatan produktivitas enzim suatu strain. “Oleh karenanya, penelusuran jalur biosintesis oleh jamur perlu dikembangkan terus menerus,” ucap Sardjono, Kepala Laboratorium Bioteknologi FTP UGM, dalam pidato berjudul “Jamur Benang dan Pengembangannya pada Industri Pengolahan Hasil Pertanian”.
Dalam pidatonya, Sardjono tetap merasa optimis sebab peluang pemanfaatan dan pengembangan jamur untuk industri pengolahan hasil pertanian masih terbuka lebar. Namun, untuk meningkatkan produktivitas dibutuhkan beberapa langkah, di antaranya penelusuran jalur biosintesis oleh jamur yang masih sangat terbatas. Di samping itu, perlu dilakukan penelusuran enzim penting yang berperan dalam biosintesis, pengendalian biosintesis, parameter kinetis sebagai dasar pengendalian proses, serta peningkatan dari penelitian dasar ke skala yang besar dan pengembangan scale up ke arah perancangan teknologi produksi secara komersial.
“Sebagai negara yang berada di daerah tropis, Indonesia memiliki kekayaan strain jamur yang luar biasa besar sehingga teknologi starter dari jamur terpilih ini perlu untuk terus dikembangkan. Sementara ketersediaan starter jamur tropis terpilih untuk keperluan industri membuka peluang sangat besar untuk meningkatkan nilai tambah hasil-hasil pertanian di Indonesia,” jelas Sardjono.
Ditambahkannya bahwa peningkatan penelitian bioteknologi jamur benang tropis pada akhirnya menjadi tumpuan untuk pengembangan industri berbasis fermentasi jamur di Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan penelitian dari penelitian dasar ke penelitian skala komersial dengan uji kelayakan menjadi prioritas utama guna mempercepat peningkatan manfaat hasil pertanian secara nyata. (Humas UGM/ Agung)