YOGYAKARTA – Agama dan ilmu dalam dunia akademis tidak dapat dipisahkan. Keduanya memiliki kapasitas transformatif untuk melakukan transformasi sosial. Dengan menggabungkan antara ilmu dan agama dalam pemikiran profetik diharapkan mampu memberikan warna baru dalam pengembangan dan perubahan ilmu sosial di Indonesia, sebagaimana yang telah dirintis oleh Prof. Kuntowijoyo.
“Membudayakan berpikir profetik di lingkungan kampus sangat penting karena kegagalan dalam hiruk-pikuk perpolitikan akibat tidak adanya perubahan perilaku koruptif dan adanya inkonsistensi peraturan,†kata Guru Besar Ilmu Pemerintahan UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A., Ph.D., dalam diskusi menggali pemikiran Prof. Kuntowijoyo, ‘Ilmu Profetik dan Aksetisme Intelektual’ di Ruang seminar Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (23/6).
Menurut Purwo Santoso, terobosan pemikiran yang dirintis oleh almarhum Prof. Kuntowijoyo lebih menekankan aktualisasi keberagaman ilmu sosial. Hal ini sangat relevan dalam konteks Indonesia dan dunia muslim, membudayakan ilmu profetik dengan cara mengilmukan islam. “Menumbuhkan budaya praksis keilmuan dan keberagaman dengan memproduksi metodologi keilmuan profetik,†tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, sejarawan UGM, Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A., lebih menyoroti tentang pemikiran Prof. Kuntowijoyo mengenai pentingnya historiografi baru dalam penulisaan sejarah di Indonesia. Sejak kemerdekaan pemikiran kesejarahan lebih didominasi oleh pemikiran dekolonisasi dan ilmu-ilmu sosial. “Bagi Kuntowijoyo, menulis dan merekonstruksi masa lalu digunakan untuk menjelaskan masa kini dan merancang masa depan. Dia mengenalkan ilmu sejarah yang memaafkan dengan cara membangun rekonsiliasi,†katanya.
Purwanto menambahkan di berbagai kesempatan Kuntowijoyo kerap menekankan pentingnya membangun optimisme dalam dunia penulisan sejarah di Indonesia. Hal itu dapat dilakukan dengan membuat sejarah yang jauh lebih dinamis, relevan, dan bermanfaat karena adanya hubungan transedental kepada Tuhan. “Ilmu sejarah yang ditawarkan adalah ilmu sejarah egalitarian, tapi tidak menjadi konsumen teori-teori sosial dari barat,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)