YOGYAKARTA – Trauma psikologi pada anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual sulit dihilangkan dari ingatan korban. Terlebih lagi apabila pelaku masih berada dan tinggal tidak jauh dari lingkungan si anak. “Ada rasa takut karena pelakunya adalah orang dekat, sebelah rumah atau serumah. Jadi, pelaku kekerasan seksual pada anak diharuskan keluar dari lingkungan si anak agar tidak menimbulkan rasa trauma,†kata psikolog UGM, Prof. Dr. Endang Ekowarni, dalam diskusi kajian ilmiah perkembangan anak di University Club, Selasa (28/6).
Guru Besar Psikologi UGM ini menambahkan tidak mudah bagi anak untuk melepaskan trauma karena kebanyakan pelaku masih dalam lingkungan si anak. Dengan begitu, trauma yang terbangun dalam memori mengikuti karakter perkembangan anak. “Sesuatu yang dipikirkan terus akan menjadi sebuah obsesi sehingga muncul perilaku karena imajinasi erotis,†katanya.
Ekowarni mengibaratkan orang yang belum pernah minum anggur, sekali mencoba, meski tidak enak, tetap berusaha untuk mengulangnya kembali. “Besar kemungkinan si anak saat remaja atau dewasa mencoba kembali pengalaman yang tidak mengenakkan meski tidak dengan pelaku yang sama,†terangnya.
Anehnya, hakim atau jaksa di pengadilan belum sepenuhnya mempercayai pengakuan anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Tidak jarang di setiap persidangan, hakim mendatangkan psikolog untuk memberikan pendapat atas pengakuan korban. “Dalam kasus pelecehan seksual, kebanyakan anak-anak tidak pernah berbohong meski dalam visum sering disebutkan organ kelamin anak mengalami luka atau trauma akibat benda tumpul,†katanya.
Menurut Ekowarni, anak yang kerap berbohong bisanya untuk hal-hal khusus terhadap sesuatu yang tidak disukainya, misalnya saat ditanya apakah sudah makan, sudah mandi, atau sudah mengerjakan PR. “Tapi jika korban pelecehan seksual, pasti dia tidak akan berbohong karena organ seksual mereka masih mengalami sakit dan nyeri,†tuturnya.
Untuk lebih mengetahui tentang psikologi perkembangan anak, Ekowarni menyarankan para penegak hukum untuk lebih banyak membaca buku perkembangan anak. Pasalnya, masih banyak anak-anak korban kekerasan dan pelecehan seksual yang belum mendapat perlindungan optimal. “Pekerjaan anak adalah bermain, tapi kenyataan di Indonesia mereka diajak bekerja dan dijual sebagai komoditas,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)