Masalah kesehatan di negara-negara berkembang, terutama Indonesia, masih dianggap barang mewah. Buruknya sanitasi lingkungan dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan di instalasi kesehatan menjadi faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian pemerintah, terlebih lagi jika pemerintah berkeinginan meningkatkan taraf kesehatan warga.
Menurut Adhitya Ronnie Effendie, S.Si., M.Si., M.Sc., beberapa yang dianggap sebagai penyebab terjadinya hal tersebut, antara lain, ialah mahalnya biaya pengobatan dan fasilitas kesehatan yang layak bagi masyarakat luas. “Terdapat dua komponen utama dalam struktur biaya berobat yang harus ditanggung seorang pasien, yaitu barang dan jasa. Komponen barang berupa obat dan kefarmasian, sedangkan komponen jasa, antara lain, fasilitas pendukung kesehatan dan honorarium (fee) dari dokter,” ujar Adhitya Ronnie di Fakultas Farmasi UGM, Kamis (30/6), dalam ujian terbuka program doktor Bidang Ilmu Matematika.
Distribusi obat menjadi masalah utama yang mendominasi penyebab mahalnya komponen barang sehingga berakibat pada mahalnya biaya berobat. Sementara itu, untuk komponen jasa, tidak adanya aturan yang jelas mengenai tarif jasa dokter membuat beberapa dokter menyalahgunakan kewenangan dalam menentukan tarif sehingga memberatkan pasien.
Dikatakan Ronnie, salah satu cara membantu pemerintah dalam membangun sistem kesehatan yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat adalah dengan membangun sistem perasuransian yang kuat. Pemerintah dapat menyalurkan anggaran sebagai modal bagi sistem jaminan kesehatan ini. “Sayang, opsi ini tentu membutuhkan alokasi anggaran yang besar dan juga dukungan politik yang kuat. Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif lain yang lebih sederhana dan cukup mudah yang bisa dilakukan para dokter praktik swasta, instalasi kesehatan berskala menengah seperti puskesmas maupun klinik-klinik kesehatan,” tutur dosen FMIPA UGM yang mempertahankan disertasi “Model Valuasi Asuransi Kesehatan Berbasis Suku Bunga Dinamis Pendekatan Multistatus”.
Ronnie berharap micro-insurance dapat menjadi salah satu alternatif pilihan untuk pembiayaan kesehatan. Berbeda dengan Asuransi Jiwa, sistem asuransi kesehatan ini lebih sederhana dan dapat diaplikasikan para dokter praktik swasta, instalasi kesehatan berskala menengah, seperti puskesmas dan klinik-klinik kesehatan. “Ini merupakan asuransi berbasis swadaya masyarakat, disebut community base financing arrangement system, yakni pembiayaan kesehatan yang berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah untuk memenuhi kebutuhan mereka sediri. Di India, asuransi ini sudah banyak,” katanya.
Ditambahkan Ronnie bahwa sistem asuransi ini berbasis data, sistem yang memungkinkan pengambil kebijakan menentukan besaran premi berdasarkan rekam medis pasien. Dengan sistem ini, pengambil kebijakan dapat mengendalikan pemasukan dan pengeluaran dana sehingga diharapkan dapat mencukupi dalam pembayaran-pembayaran klaim asuransi kesehatan. “Sistem ini jauh lebih aman karena berbasis data orang yang sering datang ke instalasi kesehatan,” tuturnya.
Agar sistem micro-insurance ini berjalan lebih adil, Adhitya mengusulkan dibuat premi secara tidak sama untuk tiap peserta, tetapi disesuaikan dengan tingkat kunjungan dan seringnya peserta jatuh sakit. Hal yang terakhir inilah dalam istilah ilmu aktuaria disebut morbiditas. Tingkat morbiditas bersama-sama dengan model suku bunga menjadi komponen utama dalam pembangunan model valuasi Asuransi Kesehatan. “Valuasi disini secara harfiah berarti menghitung atau menetapkan harga sehingga valuasi Asuransi Kesehatan dapat diartikan sebagai suatu proses memberikan harga bagi suatu produk Asuransi Kesehatan,” pungkas Ronnie yang dinyatakan sebagai doktor ke-1403 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)