Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk mencapai kemajuan. Dengan sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia yang tersedia menjadi kekuatan bangsa untuk maju. Sayangnya, kesadaran yang kuat dalam diri masyarakat Indonesia untuk fokus dan serius membangun bangsa masih terbilang rendah. “Kesadaran masyarakat Indonesia untuk fokus dan serius membangun bangsa masih terlihat rendah. Kesadaran itu hanya terlihat saat dulu melawan penjajahan Belanda,†kata Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc., Ph.D., staf pengajar Fakultas Psikologi UGM , Kamis (30/6), dalam Seminar ‘Psyhcology of The Nation’ di Fakultas Psikologi UGM.
Kwartarini menyebutkan Jerman, negara yang sempat mengalami dua kali kehancuran, dapat menjadi negara yang berkembang karena setiap warganya memiliki kesadaran untuk melakukan sesuatu dengan serius, fokus, dan benar. “Dan saat semua orang melakukan hal itu, maka sebuah negara akan menjadi kuat. Kalau prinsip itu diterapkan di Indonesia, saya yakin Indonesia bisa maju,†ujarnya.
Contoh lain dituturkan Kwartarini dapat dilihat dari Belanda. Seperti diketahui, sebagian besar wilayah Belanda terletak di bawah permukaan laut. Posisi tersebut menjadi sebuah ancaman bagi negara tersebut dan pemerintah setempat selalu mengingatkan hal itu kepada warganya. Langkah tersebut membuat warga Belanda setiap saat waspada terhadap segala kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi di negaranya. “Ketika setiap orang ‘alert’ terhadap sesuatu, maka kinerjanya akan menjadi lebih fokus dan serius. Sayangnya, Indonesia tidak memiliki hal itu,†tuturnya.
Lebih lanjut disampaikan Direktur Center for Indigenous and Cultural Psychology UGM ini, kurang kuatnya karakter untuk serius membangun bangsa disebabkan karena pengaruh penjajahan Belanda selama 350 tahun. Pada masa penjajahan, posisi masyarakat Indonesia adalah sebagai budak. Budak memiliki sejumlah karakter tertentu, seperti bergerak jika disuruh, lalu sifat memecah belah yang sudah mendarah daging. “Saya memiliki keyakinan bahwa karakter mental terjajah terjadi pada bangsa kita, mental remodeling save namanya. Itu sebabnya bangsa Indonesia sangat inverior, mudah jadi penjilat, tidak proaktif,†katanya.
Sementara itu, pakar Antropologi Budaya UGM, Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A. M.Phil., Ph.D., dalam kesempatan tersebut menyebutkan perlu direvisinya pandangan tentang kebudayaan dengan unsur-unsurnya. Pandangan yang selama ini berlaku yang dikemukakan Koentjaraningrat mengenai tujuh unsur kebudayaan universal masih kurang rinci karena belum dapat mencakup seluruh unsur yang ada dan mengundang kerancuan pemikiran. “Kebudayaan juga mempunyai tiga wujud, yaitu wujud material, perilaku, dan gagasan,†tambahnya.
Menurutnya, diperlukan kajian lebih mendalam akan unsur-unsur kebudayaan supaya dapat ditentukan jumnlahnya dengan relatif tetap. Unsur-unsur tersebut harus mampu mencakup semua gejala budaya yang ada di masyarakat. Selain itu juga dalam unsur-unsur tersebut harus dapat dirinci dan diketahui lagi sub-sub unsurnya, agar upaya untuk mengembangkan, mengubah/memperbaiki suatu unsur dapat dilakukan dengan lebih mudah. “Suatu kebudayaan paling tidak perlu dirinci menjadi 10 unsur agar berbagai gejala kebudayaan yang ada dapat tercakup di dalamnyam,†tuturnya. (Humas UGM/Ika)