Pendidikan formal menyangkut profesi penilaian di Indonesia belum mengakomodasi sesuatu yang baik untuk saat ini. Padahal jika melihat kondisi sehari-hari, kebutuhan akan profesi ini sangatlah besar. Bahkan sejak pasca krisis, tepatnya di tahun 2000, telah terjadi peningkatan signifikan kebutuhan profesi penilai untuk sektor-sektor perbankan, non-perbankan, sektor swasta maupun negara.
Kebutuhan tersebut semakin mendesak di tahun 2003, ketika undang-undang terkait otonomi daerah mulai diberlakukan. Sejak saat itu, disetiap kabupaten/kota diwajibkan membuat laporan keuangan. Yang kemudian menjadi kendala adalah pembuatan laporan keuangan menyangkut penetapan nilai aset.
Demikian disampaikan Ketua Masyarakat Profesi Penilai Indonesia, Ir Hamid Yusuf saat berlangsung kerjasama UGM dengan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), Rabu (25/6) di ruang Multimedia.
Dikatakannya, dibanyak institusi masih banyak potensi aset yang tidak terdata dan tercatat. Aset-aset tersebut bahkan baru akan terdata dan tercatat serta diketemukan setelah dilakukan inventarisasi.
“Beberapa daerah juga demikian , yang kesemuanya terkendala diinventarisasi aset sampai mengeluarkan nilainya,” ujarnya.
Hamid Yusuf menyayangkan kondisi yang belum tertata ini. Dirinyapun mengakui jika pendidikan belum mengarah profesi penilai.
Kata Hamid, Di Queensland Australia yang berpenduduk sekitar 4 juta saja, memiliki profesional penilai sebanyak 4 ribu orang. Sementara, Indonesia yang berpenduduk 200 juta lebih, hanya memiliki 2000 profesi penilai. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 250 orang yang memiliki sertifikasi profesi penilai.
“Ini menunjukkan jika beberapa negara Asean lainnya, antara jumlah penilai yang dimiliki tidak sebanding,” tambah Hamid Yusuf.
Sebagai Ketua MAPPI Hamid berkeinginan di Indonesia memiliki UU Penilaian seperti di Malaysia. Untuk itu dirinya berkeinginan mengajak UGM untuk menyusun RUU Penilaian.
“Dimalaysia keberadaan UU Penilaian ini sejak tahun 1981. UU tersebut mengatur 3 hal, pertama mengatur masalah penilaian, kedua mengatur masalah agen property dan ketiga ia mengatur surveyor. Tentu saja kita akan melibatkan UGM untuk menyusun naskah akademisnya. Hal ini sekali mengingatkan pada kita bahwa semua tidak dapat dilakukan tanpa pendidikan sebagai tulangpunggung berkembangnya profesi ini,” tandasnya.
Dalam naskah kerjasama yang ditandatangani Rektor UGM Prof Ir Sudjarwadi MEng PhD dan Ketua MAPPI Ir Hamid Yusuf disebutkan kedua belah pihak sepakat melakukan pendidikan dan sertifikasi, penelitian, pelatihan serta pengembangan secara bersama.
Rektor UGM Prof Sudjarwadi menyambut baik kerjasama ini. Dirinyapun bisa memahami jika profesi penilai untuk saat ini sesuatu yang penting.
Untuk itu, katanya, Indonesia nampaknya perlu meningkatkan jumlah SDM untuk profesi ini. Bahkan melibatkannya untuk berbagai aspek, sehingga dapat menangani tugas-tugas penting untuk kemajuan Indonesia.
“Di berbagai aspek kita memerlukan penilaian didalam mengelola berbagai sumberdaya yang dimiliki, terutama untuk mendapatkan nilai tambah, nilai ekonomi dari sumberdaya yang ada berbasis aset-aset yang kita miliki sebagai modal,” ungkapnya. (Humas UGM)