YOGYAKARTA – Khotbah Jumat (KJ) adalah salah satu ritual dalam agama Islam. KJ disampaikan khatib di masjid sebelum salat Jumat. Secara umum, isi tuturan yang ada dalam khotbah tidak lain merupakan ajakan khatib kepada jemaahnya untuk menjadi orang yang bertakwa. Tidak jarang, KJ disampaikan dalam berbagai bahasa. Di Surakarta, misalnya, KJ disampaikan dalam tiga bahasa, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Bahkan, ketiganya sering disampaikan secara bersamaan.
Menurut Dosen Linguistik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kundaru Saddhono, S.S., M.Hum., bahasa Jawa disampaikan di daerah pedesaan dan sebagian kecil di daerah perkotaan. Sementara itu, bahasa Indonesia digunakan di daerah perkotaan. “Di perkotaan, jemaah salat Jumat berasal dari berbagai latar belakang, baik pendidikan, budaya profesi, dan sebagainya,†kata Kundaru dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Selasa (5/7). Bertindak selaku promotor Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A., dan o-promotor Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo.
Kundaru menambahkan bahasa Arab disampaikan dalam KJ di masjid-masjid tertentu, misalnya masjid lembaga Dakwah Islamiah Indonesia (LDII). Namun demikian, setelah salat Jumat selesai, ada penjelasan mengenai isi khotbah dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Meski dalam bahasa yang berbeda, topik dalam KJ tetap menyampaikan kutipan firman Allah, sabda Nabi, kisah dialog, atau perkataan seseorang. Terdapat juga penceritaan yang terdiri atas kisah nabi, sahabat nabi, sejarah, dan masa kini.
Dikatakan Kundaru, pemilihan topik lebih didominasi berdasarkan lingkungan sosial masjid, yakni lingkungan keluarga, keagamaan, pendidikan, jaringan, dan lingkungan sosial. Menurutnya, setiap lingkungan sosial masjid mempengaruhi penggunaan bahasa, kosakata, dan diksi dalam tuturan KJ. “Faktor sosial inilah yang menjadikan corak Khotbah Jumat antara masjid di lima lingkungan masjid tersebut berbeda,†katanya.
Selain itu, faktor penutur, mitra tutur, dan tindak tutur juga berpengaruh pada pemakaian bahasa dan kosakata. Kendati KJ mempunyai aturan yang jelas, tatapi dalam tuturan dipengaruhi oleh faktor penutur. “Penutur atau khotib mempunyai kebebasan dalam menyampaikan khotbah dengan gaya bahasanya sendiri, tetapi tetap pada aturan yang berlaku,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)