YOGYAKARTA – Usia minimal perkawinan hendaknya disesuaikan dengan usia kematangan pria dan wanita, yakni 21 tahun, bukan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria, seperti yang tertuang dalam UU Nomor 1 tahun 1974. Perbedaan usia perkawinan dalam UU perkawinan yang ada saat ini semakin membakukan peran dan status suami-istri dalam pola relasi yang tidak seimbang dan pada akhirnya mendiskriminasikan wanita. “Jika tidak diubah, maka UU perkawinan di Indonesia akan dianggap melanggengkan perkawinan anak-anak,†kata Hakim Agung Mahkamah Agung (MA), Drs. Andi Sjamsu Alam, M.Hum., dalam ujian terbuka promosi doktor Program Studi Filsafat yang berlangsung di Auditorium MM UGM, Selasa (12/7). Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. H.R. Soejadi, S.H., dan Dr. Muhammad Mukhtasar Syamsuddin, M.Hum.
Sjamsu Alam mengatakan kesetaraan dari segi usia ideal perkawinan, yakni 21 tahun, harus sama antara pria dan wanita. Masing-masing pasangan suami-istri berada pada usia tersebut dari aspek psikologis, sosiologis, dan kesehatan, keduanya seimbang. “Idealisasi usia perkawinan pada usia 21 tahun merupakan bagian yang sangat signifikan dalam merekonstruksi pemikiran hukum perkawinan di Indonesia,†kata Sjamsu Alam yang berhasil lulus dengan predikat cumlaude.
Sjamsu Alam juga tidak sependapat jika usia perkawinan pria 21 tahun, sedangkan wanita 19 tahun. Menurutnya, hal itu sangat diskriminatif. “Itu sama saja artinya silakan laki-laki sarjana, sedangkan perempuan cukup SMA,†ujarnya. Idealnya pria dan wanita sama-sama berumur 21 tahun. Selain itu, Sjamsu Alam juga menyanyangkan keberadaan UU perkawinan saat ini yang masih memberi peluang adanya perkawinan dengan perbedaan usia pria dan wanita dengan selisih 20 tahun. “Di Timur Tengah dilarang menikah selisih usia lebih 20 tahun. Di sini tidak. Itu, Walikota Bogor (Diani Budiarto, usia 56 tahun), istri keempatnya berumur 19 tahun,†katanya.
Lebih lanjut Sjamsu Alam menjelaskan pengaturan hukum perkawinan dengan ketentuan usia 21 tahun akan menjamin terpeliharanya sumber daya manusia. Indikasinya, pada usia 21 tahun akan terbangun keluarga yang sehat yang akan melahirkan generasi berkualitas, tidak hanya dari segi lahiriah, tetapi juga batiniah.
Ia mengkritisi perkawinan yang berangkat dari asumsi bahwa suami harus selalu lebih dewasa dan lebih cakap dari istri. Hal itu disebabkan suami diposisikan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, sedangkan wanita ditempatkan sebagai pihak yang subordinatif. Namun kenyataannya, banyak rumah tangga berakhir dengan penceraian karena perbedaan mendasar antara suami-istri, di antaranya dari sisi kematangan usia. Bahkan, perbedaan status sosial dan ekonomi sering juga menjadi sumber perselisihan berkepanjangan yang pada akhirnya menyebabkan ketidakharmonisan keluarga. (Humas UGM/Gusti Grehenson)